JAKARTA - Ketegangan antara AS dan China menciptakan risiko besar bagi kedua negara dan negara-negara lain di dunia. Pasalnya, kedua negara memiliki perekonomian paling besar dan postur anggaran militer tergemuk di dunia.
Sejak 2018 lalu, baik China dan AS mengalami kerugian besar dalam perang cukai yang berkecamuk. Jika negosiasi dagang antara kedua negara menemui jalan buntu, dunia terancam terseret ke dalam perang dagang ketika ekonomi global menyusut akibat pandemi corona.
Amerika Serikat adalah negara tujuan ekspor terbesar milik China. Bahkan setelah Presiden Donald Trump menjatuhkan sanksi berupa kenaikan tarif bagi sejumlah produk buatan China. Dan sebaliknya, China adalah pasar terbesar ketiga bagi eksportir AS.
Di negeri tirai bambu itu, perusahaan-perusahaan AS juga memasok produk untuk kebutuhan di dalam negeri seperti General Motors Co. hingga restoran waralaba Burger King.
Akibat perang dagang, pembelian produk agrikultur, semikonduktor dan komoditas AS lain anjlok sebanyak 11.4% sejak tahun lalu. Namun begitu, total nilai impor produk AS oleh China melebihi angka USD 100 miliar.
Menurut Kamar Dagang AS, aktivitas ekspor produk AS ke China menopang satu juta lapangan kerja di dalam negeri. Angka tersebut sudah berkurang banyak sejak mencapai puncaknya sebesar 10% pada tahun 2017 silam.
China juga merupakan pembeli terbesar produk agrikultur AS. Kebanyakan diproduksi di kawasan tengah yang merupakan kantung pendukung Presiden AS, Donald Trump.
Saat ini, importir China masih bisa membeli biji kedelai AS dengan harga normal sesuai fase pertama \'gencatan senjata\' perdagangan yang ditandatangani Januari lalu.
Dikhawatirkan, jika kedua negara gagal bersepakat, gangguan pada pasokan biji kedelai antara AS dan China itu bisa pula berdampak kepada negara-negara Asia lain yang selama ini memasok bahan baku dan suku cadang untuk pabrik-pabrik di China.
Sentra produksi AS dan China berkaitan erat untuk sektor telekomunikasi, komputer, peralatan medis dan teknologi lain. Sejumlah perusahaan besar seperti Apple, Dell, Hewlett-Packard dan lainnya bergantung pada pabrik dari China untuk merakit produk-produk elektronik yang mereka kembangkan.
Pabrik-pabrik ini sebaliknya membutuhkan komponen komputer dari AS, Jepang, Taiwan dan Eropa untuk bisa beroperasi.
Saat ini, pemerintahan Donald Trump sedang giat menghadang raksasa teknologi China, Huawei, yang mencari akses terhadap komponen dan teknologi buatan AS.
Tapi kebijakan tersebut terancam ikut berdampak pada perusahaan-perusahaan teknologi AS di Sillicon Valley, yang banyak mengerjakan pesanan dari Huawei.
China juga merupakan pasar gemuk bagi produk-produk teknologi AS dan perlahan mulai menyaingi AS di bidang teknologi komunikasi, perlengkapan medis dan sektor lain. Sebaliknya, China mengandalkan AS untuk menjual produk olahan bernilai tinggi, lantaran rendahnya minat atas komoditas tersebut di Asia atau Eropa.
Selain perang dagang, risiko paling dikhawatirkan dalam memburuknya hubungan AS dan China adalah perang bersenjata. Saat ini, Armada Pasifik AS masih merupakan kekuatan tanpa tanding di kawasan.