JAKARTA – Terkait pembahasan RUU Cipta Kerja soal pengaturan jaminan produk halal, anggota Badan Legislasi DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, meminta pemerintah memisahkan otoritas yang mengurus regulasi dan administratif dengan otoritas yang menetapkan fatwa halal.
Menurutnya, Pemerintah bertindak sebagai otoritas regulasi dan administratif. Sedangkan MUI (Majelis Ulama Indonesia) bertindak sebagai pemegang otoritas fatwa halal. “Tidak boleh ada tumpang tindih dan intervensi dalam soal utama ini,” kata Mulyanto di Jakarta, Jumat (11/9).
Pengaturan berupa pemisahan yang tegas antara wilayah otoritas Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan MUI sangat penting untuk diperhatikan. Karena di satu sisi, otoritas MUI terkait dengan keyakinan keagamaan. Sementara di sisi lain otoritas BPJPH terkait dengan kecepatan proses adminsitratif penerbitan sertifikasi halal.
Mulyanto menyebutkan, pembahasan RUU Cipta Kerja terkait pengaturan jaminan produk halal ini belum tuntas. Sebab Pemerintah menyisipkan pasal baru untuk mempercepat proses sertifikasi produk halal. Yakni menempatkan posisi superioritas BPJPH yang dapat menabrak wilayah otoritas penetapan fatwa halal.
Dia berpendapat pengambilalihan penetapan fatwa halal oleh otoritas administratif tidak masuk nalar dan keyakinan agama. “Karena, walau bagaimana pun BPJPH dan MUI ini adalah dua lembaga dengan wilayah terpisah dan kompetensi berbeda. Tidak bisa saling mengambil alih. Nanti akan memunculkan pertanyaan, apa dasar kehalalan dari sertifikat BPJPH yang terbit tanpa fatwa MUI?” imbuhnya.
Mulyanto minta Pemerintah perlu merumuskan kembali soal instrumen administratif ini. Tujuannya, agar proses penetapan fatwa halal di MUI ini menjadi lebih cepat. Baik melalui penyederhanaan proses, ketentuan jumlah dan unsur anggota sidang fatwa, maupun pendayagunaan MUI daerah.
“Pembahasan RUU Cipta Kerja terkait soal jaminan produk halal ini sudah menyepakati bahwa MUI tetap menjadi otoritas tunggal dalam penetapan fatwa halal. Karena MUI adalah representasi para ulama yang berkompeten dalam soal fatwa, yang mewakili seluruh ormas Islam di tanah air,” tandas Mulyanto.
Terpisah, Anggota Badan Legislasi (Baleg) Ledia Hanifa Amaliah mengkritisi hal tersebut. Menurutnya, alur penerbitan Sertifikat Halal di dalam undang-undang sesungguhnya tidak rumit.
“Kalau mau menelisik lebih dalam, dari berbagai laporan yang diterima, ternyata bottle neck yang selama ini menyebabkan lamanya sertifikat halal keluar adalah begitu banyaknya permintaan penerbitan Sertifikat Halal. Tetapi, belum diimbangi jumlah LPH dan auditor halal yang cukup,” ungkap Ledia.
Mantan Ketua Panja RUU Jaminan Produk Halal tahun 2013-2014 ini menjelaskan, sebelum adanya Undang-undang No 33 Tahun 2014, satu-satunya LPH adalah LPPOM MUI. “Kemudian, lalu lewat Undang-Undang Jaminan Produk Halal itu, dibukalah keran pendirian LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) lain, yang bisa dibentuk oleh ormas atau perguruan tinggi,” terangnya.
Pendirian LPH memiliki satu prasyarat mendasar. Yaitu mempunyai auditor halal yang tersertifikasi. Aartinya memiliki ilmu terkait bahan baku produk dan ilmu terkait kehalalan. “Nah, yang jadi persoalan ternyata sampai saat ini belum ada LPH yang berdiri. Karena terbentur persoalan belum auditor halal yang tersertifikasi itu,” urainya.
Anggota Komisi X DPR RI ini mengingatkan kepada BPJPH agar segera melakukan pembenahan. Untuk mendorong percepatan pembentukan LPH, semestinya calon Auditor Halal segera diberi pelatihan yang sejalan dengan kebutuhan di lapangan dan sesuai standar Lembaga Sertifikasi Profesi MUI.
“Hal ini akan mendukung percepatan terbitnya sertifikat halal yang diajukan para produsen. Karena produknya bisa diuji di banyak laboratorium, tidak antri hanya di LPPOM MUI saja,” pungkasnya. (fin)