Demokrasi di Era Post-Truth
DISKURSUS soal demokrasi memang tak ada habisnya. Akhir-akhir ini kembali menghangat, seiring foto Gubernur DKI Jakarta, Anis Baswedan yang duduk di kursi sembari membaca buku “How Democracies Die” karya Steven Levitsky & Daniel Ziblatt.
Foto tersebut pun kemudian viral di media sosial (medsos). Dalam hal ini penulis tidak akan membincangkan soal viralnya foto sang gubernur itu.
Jika ada pertanyaan, apa itu demokrasi? Tentu jawabannya akan sangat beragam. Ada banyak terminologi demokrasi yang disampaikan sejumlah tokoh. Misalnya Presiden pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno mengatakan demokrasi adalah sarana untuk mencapai masyarakat yang adil dan sejahtera sepenuhnya.
Mohammad Hatta menyatakan demokrasi tidak akan bertahan tanpa adanya rasa tanggung jawab. Kemudian KH Abdurrahman Wahid mengatakan demokrasi harus berlandaskan kedaulatan hukum dan persamaan setiap warga negara tanpa membedakan latar belakang ras, suku, agama dan asal muasal.
Sementara menurut tokoh internasional seperti John F Kennedy, menunda keadilan adalah menolak demokrasi. Presiden Taiwan, Tsai Ing Wen menyatakan demokrasi bukan cuma pemilu melainkan hidup kita sehari-hari. Sedangkan penulis EB White menjelaskan demokrasi ketika diminta oleh Dewan Penulis Perang Pemerintah Federal AS seperti yang tertulis dalam buku Bagaimana Demokrasi Mati (How Democracies Die versi Bahasa Indonesia).
Menurut EB White, demokrasi adalah antrean yang terbentuk di sebelah kanan. Demokrasi adalah “jangan” dalam “jangan saling dorong”. Demokrasi adalah lubang di kantong yang pelan-pelan mengucurkan serbuk gergaji; demokrasi adalah lekukan di topi.
Demokrasi adalah kecurigaan berulah bahwa lebih daripada separuh orang itu benar pada lebih daripada separuh waktu. Demokrasi adalah rasa privasi di bilik suara, rasa kebersamaan di perpustakaan, rasa vitalitas di mana-mana. Demokrasi adalah surat kepada editor. Demokrasi adalah skor pada awal babak kesembilan.
Demokrasi adalah gagasan yang belum dibantah, lagu yang kata-katanya belum. Demokrasi adalah mustard di hot dog dan krim di kopi jatah. Demokrasi adalah permintaan dari Dewan Perang pada tengah pagi dalam perang.
Dari uraian di atas, setidaknya ada empat unsur pokok demokrasi yaitu kontrol rakyat, kesetaraan rakyat, pemerintahan konstitusional dan kebebasan individu.
Dalam konteks ini, pendiri bangsa telah menyepakati bahwa NKRI menganut sistem demokrasi. Oleh karenanya demokrasi merupakan amanat konstitusi sebagaimana yang termaktub dalam paragraf terakhir pembukaan UUD 1945;
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Konsekuensi negara dengan sistem demokrasi adalah adanya pemilu/pemilihan. Sebab pemilu/pemilihan merupakan instrumen pokok dalam menerapkan prinsip-prinsip demokrasi di antaranya kedaulatan berada di tangan rakyat.
Proses pemilu/pemilihan (electoral process), menurut The Economist Intellegence Unit adalah salah satu indeks demokrasi selain pluralisme (pluralism), berfungsinya pemerintahan (functioning of government), partisipasi politik (politcal participation), budaya politik (political culture) dan kebebasan sipil (civil liberties).
ANCAMAN HOAKS DALAM PEMILIHAN
Dalam konteks demokrasi elektoral, bangsa ini sudah mengalami 12 kali pemilu yang dihitung sejak tahun 1955 sampai 2019. Sementara untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung atau dipilih langsung oleh rakyat pasca reformasi baru dimulai tahun 2004 atau sudah empat kali pemilihan.
Sebelumnya Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR RI. Sementara untuk pemilihan serentak lima surat suara (Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota) baru satu kali yaitu pada Pemilu 2019 dengan payung hukum UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: