Cendol Hu

Cendol Hu

Lalu saya cepat-cepat berangkat ke Takeran, Magetan. Bersama istri dan Kang Sahidin. Sarapannya sambil melaju di jalan tol. Tiba di Takeran, saya gandeng istri ke makam. Berdua saja. Di situlah kiai saya, Gus Amik, dimakamkan. Akibat Covid-19. Sebulan lalu. Persis di sebelah makam ayah saya.

Di dekat situ juga dimakamkan kakak Gus Amik. Yang juga meninggal karena Covid 12 hari kemudian. Kakak-adik itu adalah cucu guru\' spiritual ayah saya. Bukan hanya cucunya guru, tapi memang juga sepupu saya. Nenek saya adalah adik kandung sang guru.

Bukan hanya ke makam itu yang penting. Tapi rapat pesantren setelah itu. Yakni untuk membicarakan siapa kiai baru yang akan menggantikan posisi Gus Amik.

Leluhur kami mewariskan Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) yang kini membawahkan 120 madrasah di 8 kabupaten sekitar Magetan, di Blora dan di Ciamis.

Pemikiran dari saya paling ditunggu di rapat itu. Terutama karena saya tidak bersedia menjadi pengganti Gus Amik. Ayah saya berpesan: saya harus mengabdi dan menghormati guru, sampai pun ke anak cucunya. Kalau saya jadi kiai di situ, berarti saya tidak memegang pesan orang tua.

Ayah saya memang penganut tarekat satariyah. Sang guru adalah mursyid (pemimpin spiritual) satariyah. Di umur 15 tahun pun saya sudah dibaiat untuk ikut menapaki jalan spiritual itu; yakni mencari “sangkan-paraning-dumadi” lewat dzikir \'hu yang banyak dicaci-maki ustad masa kini, tapi dibela dengan baik oleh ulama seperti Gus Baha\' —lewat YouTube-nya yang sangat populer itu.

Hidup ini dari mana dan hendak ke mana. Saya sempat bersama Gus Amik keliling Jawa Barat. Ke Pamijahan. Ke Panjalu. Ke Buntet. Ke Benda. Mendalami asal usul aliran tarekat yang sangat dekat dengan kebatinan Jawa ini. Saya juga bertemu seorang doktor yang disertasinya tentang satariyah.

Saya pun tahu: Islam mulai mengalami benturan spiritual setelah melebar ke wilayah non-Arab. Misalnya ketika Islam melebar ke Parsi —yang merasa peradabannya lebih tinggi dari Arab. Lebih utama lagi ketika Islam melebar sampai ke India —yang di zaman itu jauh lebih kaya dari negara-negara Arab —yang belum menemukan minyak bumi. India juga merasa mempunyai peradaban lebih tinggi dari Arab.

Maka jamaah haji dari India (waktu itu Pakistan masih di dalam India) begitu menguasai Makkah. Dan Madinah. Dengan filsafat pemikiran yang berbeda dengan yang di Arab. Juga dengan harga diri yang tidak kalah tinggi. Maka terjadilah benturan pemikiran filsafat keagamaan. Antara Arab dan non-Arab. Satariyah adalah salah satu hasil dari benturan-benturan pemikiran itu.

Gus Amik punya dua anak laki-laki. Yang pertama berkarir di perusahaan besar. Yang kedua baru lulus fakultas hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta.

Kebetulan yang kedua itu pendidikan agamanya Ibtidaiah, Tsanawiyah, dan Aliyah. Maka saya ajukan ia pengganti ayahnya. Saya juga minta agar ia melanjutkan S-2 di India. Agar meraih gelar master di salah satu universitas Islam tertua di dunia: Aligarh University.

Tidak jauh dari Taj Mahal, Agra. Kebetulan saya punya teman aktivis muslim di Agra.

“Kenapa tidak di Timur Tengah?” tanyanya.

“Sudah terlalu banyak yang lulusan Timur Tengah,” jawab saya. Yang tidak saya katakan padanya adalah: agar kiai baru ini pernah merasakan hidup sebagai minoritas. Bahkan minoritas yang lagi tertekan seperti di India saat ini.

Yang juga tidak saya katakan adalah: agar ia mendalami benturan-benturan pemikiran di sana. Semua peserta rapat pun setuju.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: