Cendol Hu
Bahkan ada yang usul rapat hari itu langsung memutuskannya. Tapi karena pengangkatan itu perlu legalitas lebih luas disepakati perlu forum yang lebih resmi: 30 Januari depan.
Rapat hari itu sebenarnya sudah memperhatikan protokol kesehatan. Lokasinya di aula besar pesantren. Yang hadir dibatasi hanya 30 orang. Tempat duduknya sangat berjauhan. Semua memakai masker. Tidak ada suguhan minuman. Pun makanan. Waktu mikrofon disodorkan ke saya disemprot disinfektan lebih dulu. Ketika mik yang sama dipakai yang lain, saya tidak mau lagi bicara pakai mik.
Sebelah kiri saya istri Gus Amik, seorang doktor yang sudah sembuh dari Covid —mestinya sudah negatif. Sebelah kanan saya, Kiai Misbahul Huda, wakil ketua, yang juga putra guru nahwu-shorof saya dulu —grammar dalam bahasa Arab. Mas Huda, cum laude elektro UGM, juga pernah jadi dirut banyak anak perusahaan yang saya pimpin dulu.
Waktu mau pulang, santri-santri SMK yang dari tim sepeda motor listrik Take-Run minta foto bersama. Saya langsung pulang ke Surabaya. Empat hari kemudian saya positif Covid-19. Misbahul Huda juga.
Saya langsung minta agar semua peserta rapat diberi tahu. Agar bisa ambil langkah sendiri-sendiri yang benar. Mas Huda juga rajin berolahraga. Kami saling tukar informasi soal penderitaan ini. Tapi saya juga terus kepikiran: kental, gumpal, atau cendol. Yang mana yang lebih tepat. (dahlan iskam)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: