Meramu Obat

Meramu Obat

KEMARIN adalah hari kelima saya di rumah sakit. Saya bingung: tidak ada pekerjaan. Nganggur. Lalu saya mikir: lebih baik tetap sibuk. Secara fisik. Kan makan saya banyak sekali. Tapi badan tidak bergerak. Bahaya. Maka saya putuskan: mandi pagi agak lama. Agar tidak menghabiskan air, sabunannya yang lama. Termasuk shampoannya.

Apalagi hanya bisa mandi dengan satu tangan. Kanan. Yang ada gelang rumah sakitnya itu. Sedang tangan kiri dipasangi \'terminal\' infus. \'Terminal\' itu tidak boleh terkena air. Maka, selama mandi, tangan kiri harus selalu di atas kepala. Agar tidak terkena air.

Pegang gagang shower, ya dengan tangan kanan. Pegang sabun dengan tangan kanan. Gosok badan dengan tangan kanan. Hanya saja ada kesulitan kecil: bagaimana bisa menggosok sabun di ketiak kanan. Ya sudah. Setelah selesai sabunan saya mikir lagi: apa lagi yang bisa dilakukan.

Oh, ada. Cuci baju! Baju kotor sudah menumpuk. Yang bersih hampir habis. Maka kaus dalam, celana dalam, kaus tipis, celana tidur tipis, saya cuci di kamar mandi. Saya sempat takut dimarahi: menghabiskan air. Saya sendiri sudah terbiasa hemat air. Maka saat bilas badan, semua kain kotor saya taruh di bawah kaki.

Air bilasan bisa sekaligus membasahi baju. Lalu, sambil bilas-bilas-badan saya injak-injak itu pakaian. Setelah itu barulah saya teteskan sabun cair ke baju kotor. Saya berusaha sehemat mungkin air. Ngucek-nya tanpa air. Ngucek-nya lebih lama dari mbilas-nya.

Saya sempat ngirim pulang baju kotor satu plastik. Saya minta tolong petugas. Agar plastik itu ditaruh di tempat kirim makanan. Agar Kang Sahidin mengambilnya di situ. Untuk dibawa pulang. Kang Sahidin tidak bisa menemukan kantong plastik itu.

“Bagaimana?” tanyanya di WA. “Gak usah dicari. Pulang saja. Hilang juga tidak apa-apa. Sekalian mengurangi pakaian yang terlalu banyak menumpuk di rumah,” jawab saya.

Itulah sebabnya saya cuci sendiri celana dalam. Agar tidak perlu dikirim yang bersih dari rumah. Dan lagi seisi rumah kan lagi karantina. Tapi kamar saya jadi boros air. Bagaimana kalau dimarahi manajemen RS?Saya sih berharap manajemen tidak membaca Disway. Jadi tidak tahu.

Tapi itu mustahil. CEO rumah sakit ini juga pembaca Disway: dr Hartono Tanto. Yang berhasil membawa rumah sakit ini maju. Yang terkenal “datang paling pagi, pulang paling malam”.

Sebagai CEO yang rajin, jangan-jangan ia juga mengontrol pemakaian air tiap kamar. Jangan-jangan dari pusat meteran, pemakaian air bisa dimonitor: kamar berapa yang paling boros. Jangan-jangan pegawai bagian meteran air juga membaca Disway. Ampuuuuun.

Yang jelas banyak staf di RS ini yang membaca Disway. Termasuk seorang apoteker di bagian farmasinya. Itu saya ketahui dari copy Facebook-nya. Yang sampai membuat saya berlinang air mata.

Rupanya ia tahu saya terkena Covid. Ia tahu saya lagi dirawat di RS ini. Rupanya ia yang meracik obat untuk saya. Saya bersyukur copy Facebook itu dikirim ke saya. Oleh orang lain yang kebetulan membacanya.
Bunyinya: “Setiap kali saya meracik obat yang akan dikirim ke kamar beliau, selalu saya sertakan doa di obat itu.” Saya berlinang membacanya. Saya baca lagi. Baca lagi. Orang baik ternyata ada di mana-mana.

“Apakah saya pernah bertemu apoteker itu?” tanya saya ke teman yang kirim copy Facebook itu. “Ia bilang belum pernah,” jawabnya. Maka, kini saya yang ingin ketemu dengannya nanti. Apalagi ini ada di satu rumah sakit. Semoga ia juga menyertakan doa untuk semua yang sakit.

Banyak kiai dan sahabat yang juga mengirimi saya doa. Bhante (Bhikhhu) Dharma Vicayo membimbing saya berdoa secara Buddha. Teman-teman Kristen kirim doa Novena. Termasuk ada yang sengaja pergi ke Gua Maria St Yacobus bersama istri dan anaknya. Untuk doa Novena.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: