Meramu Obat

Meramu Obat

Saya sangat berterima kasih untuk semua itu. Saya ingin terus sibuk. Maka saya minta kepada petugas RS, biarlah saya sendiri yang membersihkan dan menata tempat tidur. Saya juga memanasi makanan sendiri. Ada alat masak air di kamar. Ada alat kecil untuk memanasi makanan.
Maka saya rebus air sendiri. Saya juga memanasi sop kaki kiriman istri. Saya rebus telur, brokoli, bihun, dan makanan-makanan yang sudah dingin. Saya cuci piring, sendok, mangkok dengan cucian yang lebih bersih. Lalu Christianto Wibisono bertanya soal zikir \'Hu\' di Disway tiga hari lalu itu. Yang diamalkan oleh pengikut tarekat Satariyah seperti keluarga saya.

Saya bingung mencari cara menjawab. Kepada orang Islam saja saya sulit menjelaskannya. Apalagi ini kepada orang Kristen. Tarekat itu artinya “jalan”. Yakni jalan menuju Tuhan. Bukan hanya untuk bertemu Tuhan melainkan bagaimana bisa menyatu dengan Tuhan. Saya tahu, pasti banyak jalan menuju Tuhan.

Masing-masing bisa menemukan jalannya sendiri-sendiri. Asal mau mencari. Atau ada yang menunjukkannya dengan benar. Lalu soal lain lagi. Kemarin adalah hari ke-7 saya terkena Covid-19. Ada yang bilang, hari ketujuh itu masih merupakan puncak inkubasi virusnya. Kemarin bisa jadi hari yang bahaya.

“Bagaimana keadaan hari ini?\" tanya Dhimam Abror, teman berjuang saya di Jawa Pos dulu. “Semoga sempurna, seperti Kitab Kejadian,” jawab saya. Saya tahu Abror seorang humoris dan pembaca buku filsafat yang tekun. Maka saya mengasosiasikan jawaban saya dengan Hari Ketujuh penciptaan alam raya. Seperti disebut dalam Genesis.

Jawab Abror ternyata lebih serius: “Saya pecinta Karen Amstrong. Interpretasinya tentang Kitab Kejadian asyik dan cocok dengan iman Islam.” Lalu Abror menyertakan foto sampul buku In the Beginning, a New Interpretation of Genesis karya Amstrong.

“Praktisi dan penghayat tarekat/tasawuf seperti bos (Abror selalu panggil saya bos —DI) lebih mudah menerima tradisi-tradisi itu. Kalimatun sawaa\'. Tapi orang-orang syariat seperti saya berat sekali. Butuh perjuangan ekstra,” tulisnya.

Diskusi pun berlanjut. Agak berat. Saya yakin Covid-19 yang ada di tubuh saya tidak bisa mengikutinya. “Dalam tradisi Kristen, membahas Injil lebih enak,” kata Abror. ”Semua mengakui Injil ada author-nya/pengarangnya. Tapi kalau bicara Alquran susah. Karena antara makhluk atau kalam saja bisa bunuh-bunuhan,” tulis Abror. Baiknya tidak semua diskusi dengan Abror itu dimuat di sini. Terlalu sensitif. Juga berat sekali.

Covid perlu yang humor-humor. Yang “Hati Gembira” seperti dikatakan Tung Dasem saat terkena Covid dulu. Saya juga tidak terlalu memikirkan Covid. Tapi saya tidak bisa berhenti memikirkan yang meramu obat saya itu. (dahlan iskan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: