Penemuan Kuwat
Prof Kuwat selalu mengajak dokter satu ini di setiap penelitiannya: Dokter Dian. Semula, dr Dian saya kira perempuan. Ternyata laki-laki. Terlihat dari nama terakhirnya: Dian Kesumapramudya Nur Putra. Ia dokter spesialis anak. Pinter sekali.
Penelitian pertama Kuwat-Dian adalah di penyakit TBC, infeksi mulut sampai ke penyakit akibat narkotika. Itu tahun 2016. Sampai sekarang masih berlanjut.
Lalu ada juga penelitian di bidang yang lebih mendesak: penyakit lumpuh layu. Yang biasanya baru ketahuan setelah dewasa. Lantas tidak bisa tertolong. “Padahal harusnya bisa diketahui ketika masih anak-anak,” ujar Prof Kuwat.
Ketika ada pandemi, penelitian itu diarahkan juga ke Covid-19. Dengan bantuan Badan Intelijen Negara (BIN). Sampai berhasil sekarang ini.
Di proses uji coba GeNose itu sudah di cross-check ke sistem PCR. Mereka yang negatif di GeNose juga negatif di PCR. Demikian juga sebaliknya. Dengan presentase kesamaan 92 persen lebih.
Penemuan Prof Kuwat ini akan menyelesaikan banyak hal. Bayangkan, 5 menit selesai. Bayangkan, biayanya hanya Rp35.000-an. Begitu murah dibanding PCR yang ratusan ribu rupiah itu.
Pun setelah vaksinasi nanti. Tetap bermanfaat besar. Untuk terminal-terminal bus, stasiun KA, pelabuhan dan terutama di bandara.
Itu bisa ikut mengatasi ancaman gelombang kedua Covid-19 –kalau ada. Sekarang ini terlalu banyak penularan dari orang yang merasa sehat. Padahal orang itu mungkin saja kena Covid. Hanya tidak merasa. Tapi tetap bisa menularkan.
Itulah problem di mana-mana di dunia sekarang ini. Termasuk di Tiongkok. Orang seperti tanpa Covid menularkan Covid.
Temuan Prof Kuwat bisa ikut mengatasinya. Justru karena praktis, murah, dan kecepatannya.
Kok namanya GeNose? “Dulunya saya beri nama e-Nose. Electronic-Nose. Waktu masih untuk TBC, belum untuk Covid-19,” ujar Prof Kuwat. “Tambahan G itu karena ini Gadjah Mada,” katanya.
Tapi seberapa kuat Prof Kuwat?
“Ayah saya petani. Awalnya beliau memberi nama saya Riyono saja,” ujar Prof Kuwat.
Lalu, waktu SD sering berkelahi. Selalu menang. Riyono dianggap kuat sekali. Maka ketika lulus SD, di ijazahnya tertulis nama: Kuwat Triyana (baca: Triyono).
Zaman itu di desa seperti itu. Terutama kalau ada beberapa murid dengan nama sama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: