GERD saat Pandemi Akibat Stres
FAKTOR stres memegang peranan besar di balik penyakit GERD (gastroesophageal reflux disease) selama pandemi COVID-19.
“Penelitian menunjukkan hampir setengah pasien GERD melaporkan stres sebagai faktor terbesar yang memperburuk gejala,” ujar staf medik Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM-FKUI, Rabbinu Rangga Pribadi di Jakarta, Minggu (7/3).
Menurutnya, stres memiliki kaitan erat dengan timbulnya GERD. Sementara saat ini banyak orang yang merasa tertekan akibat kehilangan pekerjaan, kehilangan anggota keluarga hingga tidak bisa leluasa bepergian.
Begitu juga gaya hidup yang tidak sehat. Seperti merokok dan berat badan berlebih. Faktor lainnya meliputi makan dalam jumlah besar, obat-obatan. ”Selain itu menyantap makanan yang memicu kenaikan asam lambung serta berbaring setelah makan,” imbuhnya.
GERD adalah penyakit yang disebabkan naiknya asam lambung ke kerongkongan. Hal ini menyebabkan gejala tertentu dan komplikasi. Gejalanya meliputi rasa terbakar di dada juga rasa makanan naik kembali. ”Gejala lainnya yang lebih umum seperti batuk, suara serak, nyeri saat menelan, erosi pada gigi, nyeri dada, rasa pahit di lidah dan rasa terganjal di kerongkongan,” paparnya.
Menurutnya GERD berbeda dengan maag. Tetapi terkait dengan asam lambung. Dalam kondisi normal, asam lambung berada di dalam lambung. Tetapi asam lambung itu naik ke kerongkongan pada penderita GERD.
GERD, lanjutnya, bisa diatasi dengan obat. Namun, itu saja tak efektif bila pasien tidak memodifikasi gaya hidupnya. Yaitu menjaga berat badan ideal, olahraga teratur, berhenti merokok, tidak minum minuman beralkohol serta mengurangi makanan berlemak. “Penyakit ini tidak menimbulkan kematian. Namun sangat mengganggu aktivitas keseharian. Karena itu, selama masa pandemi Covid-19, masyarakat harus benar-benar memperhatikan kesehatan,” pungkasnya. (fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: