Perang Memakan Korban, Lebih dari 200 Ribu Tewas Termasuk di Wilayah Gaza
GAZA- Perang selalu memakan korban. Namun, mereka yang berjatuhan bukan tentara ataupun militan, melainkan didominasi warga yang tidak bersalah. Pasalnya, banyak bom yang jatuh ke wilayah padat penduduk.
Hanya dalam hitungan menit setelah serangan Israel ke Gaza, nyawa Baraa al-Gharabli terenggut. Bocah 5 tahun itu tewas akibat bom yang jatuh di Jabaliya. Beberapa jam berikutnya, Mustafa Obaid, 16, juga tewas dalam serangan yang sama. Pun demikian dengan sepupunya, Yazan al-Masri, 2; Marwan al-Masri, 6; Rahaf al-Masri 10; dan Ibrahim al-Masri, 11. Mereka semua tewas di Beit Hanoun.
“Penderitaan yang dirasakan keluarga kami tidak bisa digambarkan,” ujar Mukhlis al-Masri, salah seorang korban selamat, seperti dikutip The New York Times Kamis (27/5). Sebagian besar korban perang Hamas dengan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) memang bukan militer, melainkan warga sipil. Termasuk di antaranya perempuan dan anak-anak.
Di Distrik Qaisar, Provinsi Faryab, Afghanistan, 7 orang penduduk sipil juga harus kehilangan nyawa. Ledakan bom di pasar di wilayah tersebut juga membuat 9 orang lainnya terluka. Media lokal setempat, Pajhwok, pada Kamis menyebutkan, pelaku serangan belum diketahui. Kemungkinan besar Taliban.
Berdasar laporan Action on Armed Violence (AOAV), rata-rata 91 persen korban yang tewas dan terluka akibat penggunaan senjata berpeledak di permukiman adalah warga sipil. Data itu berdasar laporan korban luka dan tewas selama konflik pada 2011–2020. Mereka menganalisis lebih dari 29 ribu insiden dari 123 negara melalui media-media berbahasa Inggris. Jika ditotal, jumlahnya mencapai 238.892 orang.
Salah satu yang terburuk adalah truk berisi bom yang meledak di Mogadishu, Somalia, Oktober 2017. Kala itu 828 orang menjadi korban, lebih dari 500 di antaranya tewas. Alat peledak yang sudah diimprovisasi menewaskan 52 persen warga sipil, sedangkan 47 persen tewas oleh senjata yang dirancang untuk kepentingan militer. Korban sipil lainnya tewas dalam insiden di mana senjata campuran digunakan.
Direktur Eksekutif AOAV Iain Overton mengungkapkan bahwa bukti-bukti yang mereka peroleh sangat jelas. Bom dan misil yang didesain untuk target militer justru membahayakan warga sipil. ’’Ketika senjata peledak digunakan di kota, penduduk sipil bakal dirugikan. Seperti yang sekarang terjadi di Gaza dan apa yang terjadi satu dekade lalu di Iraq serta sekitarnya,” ujar Overton seperti dikutip The Guardian.
Melihat situasi di Gaza, Afghanistan, Myanmar, dan Somalia, tahun ini trennya sepertinya tidak berubah. AOAV menyerukan pemerintah di berbagai negara untuk menyetujui larangan internasional terkait penggunaan senjata berpeledak di area yang dipenuhi bangunan milik warga sipil. Larangan itu kini masih berbentuk draf.
Irlandia memimpin rencana internasional terkait deklarasi politik atas isu yang sama. Dokumen itu disusun sejak Januari dan didukung Belgia. Draf tersebut akan dipertimbangkan pada pertemuan PBB di Jenewa akhir tahun ini. Sayang, negara-negara besar seperti AS, Inggris, Israel, dan Prancis justru keberatan. Rusia memilih tidak berpartisipasi.
Negeri Beruang Merah itu dituding berkali-kali melanggar hukum kemanusiaan selama pengeboman tanpa pandang bulu di Syria. Lembaga-lembaga HAM ingin agar kesepakatan itu diperkuat. Komite Palang Merah Internasional menginginkan peningkatan komitmen. Dari hanya membatasi menjadi menghindari penggunaannya. Itu dilakukan untuk mencegah warga sipil terbunuh atau terluka karena rudal dan bom.
Koordinator Jaringan Internasional tentang Senjata Peledak Laura Boillot menyatakan, konflik-konflik yang baru terjadi menggarisbawahi perlunya perjanjian internasional. Kerugian yang diderita penduduk sipil tidak bisa diterima dan harus dihentikan. “Jika tidak, kita merisikokan lagi satu dekade penderitaan dan kehancuran warga sipil. Negosiasi berupa deklarasi politik merupakan peluang untuk menetapkan standar baru,” tegasnya.
Sementara itu, Amerika Serikat, Inggris, Israel, dan Prancis keberatan dengan pembatasan penggunaan senjata peledak. Mereka punya alasan mendasar. Salah satunya, negara adidaya itu merupakan penjual dan pengguna senjata terbesar.
Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) memublikasikan analisis tahunan mereka April lalu terkait tren penjualan senjata global. AS duduk di posisi pertama. Selama 2016-2020, 37 persen penjualan senjata didominasi Negeri Paman Sam tersebut. Itu hampir dua kali lipat dari rival terdekatnya, yakni Rusia, dan enam kali lipat dari Tiongkok.
Analisis tersebut tidak mengagetkan. Selama kurun 30 tahun terakhir, 28 kali AS duduk di peringkat pertama dalam hal penjualan senjata. Angka itu tetap tinggi, tidak peduli apakah penguasa Gedung Putih dan Kongres dari Republik maupun Demokrat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: