Serba Bersama
Yakni, Presiden harus tahu bahwa saya bukan insinyur listrik –bahkan bukan sarjana. Saya hanya tamatan pondok pesantren: hanya tingkat madrasah aliyah pula. Saya kemukakan itu di depan presiden. Agar dipikirkan ulang pencalonan saya.
Saya berpikir, bisa jadi Bapak Presiden akan disalahkan banyak orang: mengapa mengangkat lulusan madrasah menjadi Dirut PLN –yang lagi krisis pula. Maka terucapkan kata-kata beliau: “Saya sudah tahu itu. Saya melihat kemampuan leadership dan manajerial”. Ya sudah. Yang penting, saya tidak boleh mengutamakan ambisi, tapi mencelakakan atasan saya.
Saya tidak mau melempar bola api ke atas. “Melempar bola api ke atas” adalah salah satu topik yang saya pilih di program mentoring leadership untuk beberapa direksi perusahaan saat ini. Setelah jelas posisi saya itu, saya plong. Beban mental berkurang. Tapi, saya sadar kelemahan saya: tidak tahu teknis listrik. Memang saya sudah pengalaman membangun dua PLTU, tapi kecil-kecil –untuk ukuran bisnis listrik.
Saya pun sadar: direksi PLN harus kompak –untuk bisa mengatasi krisis listrik saat itu. Saya harus memilih sendiri siapa saja yang akan duduk menjadi direktur PLN –mendampingi saya. Saya bertekad untuk tidak membawa satu orang pun dari luar ke PLN. Pasti masih banyak orang PLN yang hebat-hebat.
Dalam proses pengangkatan saya itu, ada dialog. Saya yang minta dialog: saya dipanggil Menteri BUMN Bapak Mustafa Abubakar dan Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh. Saya ajukan persyaratan saya itu: saya harus diberi wewenang menentukan siapa saja yang jadi direksi PLN. Kalau tidak, saya tidak mau menjadi Dirut PLN.
Untuk apa menjadi Dirut tapi tidak bisa mengatasi krisis listrik. Beliau setuju. “Tapi, SK-nya harus tetap dari menteri BUMN,” ujar Pak Abubakar. Tentu saya tahu: harus begitu. Tidak masalah.
Said Didu, sekretaris menteri waktu itu, membuatkan SK-nya. Saya juga minta saran Said Didu: siapa anak muda di PLN yang pintar, bersih, dan jujur yang bisa saya ajak diskusi rahasia untuk memilih calon direksi itu. Saya tidak kenal satu pun orang di PLN.
Syarat lain dari saya tidak sulit: tidak mau menerima fasilitas apa pun dari PLN. Tentu disetujui. Di situ ada unsur ”diberi wewenang”. Otoritas. Saya tidak tahu apakah dalam proses pengangkatan menteri kesehatan yang bukan dokter itu juga melewati dialog seperti itu. Yang jelas, saya melihat tidak ada wewenang yang cukup yang diberikan kepada menteri kesehatan di tengah krisis ini.
Atau saya salah lihat, maafkan. Di atas menteri kesehatan dan tim khusus. Mungkin saking besar dan luasnya cakupan pandemi. Padahal, ”kewenangan” dan ”tanggung jawab” itu menyatu dalam proses manajemen. Apalagi di tingkat leadership. Misalnya: vaksinasi harus mencapai 70 persen di akhir Oktober 2021.
Apakah itu tanggung jawab menteri kesehatan atau tanggung jawab ketua tim apa itu? Dalam doktrin manajemen, tidak ada yang namanya ”tanggung jawab bersama”. Harus ada satu orang yang bertanggung jawab: siapa. Kelangkaan obat: tanggung jawab siapa. Dan seterusnya. Lengkap dengan kewenangannya. Kita sering melihat slogan di terminal bus: ”Kebersihan adalah tanggung jawab kita bersama”.
Toh tidak pernah bersih juga –dulu, entah sekarang. Tidak ada lagi slogan dengan bunyi seperti itu di stasiun kereta api, sejak era Ignasius Jonan –karena tanggung jawab kebersihan ada di pribadi kepala stasiun itu sendiri. Stasiun pun bersih. Memang bikin gemes: Jumlah persediaan vaksin tercatat mencapai 150 juta. Yang ingin divaksin terlalu banyak, sampai antre –hanya sedikit yang ogah.
Produksi vaksin di Bandung tiap hari sudah bisa mencapai: 1,4 juta ampul. Tapi, yang sudah divaksin baru 60 juta orang. Itu tanggung jawab siapa? Jangan ada moto tanggung jawab kita bersama. Itu hanya enak diucapkan, puas di hati, tapi bisa seperti terminal bus hasilnya.
Saya setuju dengan pendapat ini: vaksinasi adalah harapan utama kita melawan pandemi. Capaian 70 persen adalah mutlak. Akhir Oktober harus selesai. Selebihnya urusan siapa yang harus bertanggung jawab. (dahlan iskan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: