Akibat Pamdemi Covid-19, PJJ Turunkan Kecerdasan Siswa
PEMBELAJARAN jarak jauh (PJJ) yang selama pandemi COVID-19 diterapkan ternyata mempengaruhi emosi siswa yang bredampak pada penuruan kecerdasan. Sayangnya Pemerintah belum memiliki solusi yang tepat.
Muhammad Nur Rizal, Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) menyebut berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pihaknya, PJJ dapat mempengaruhi emosi siswa. Dan umumnya emosi negatif.
“Hasil penelitian yang kami lakukan pada 1.263 siswa mulai jenjang SD hingga SMA, menunjukkan 57 persen siswa SD dan SMP merasakan emosi negatif. Sementara 70 persen siswa SMA yang merasakan emosi negatif,” ujarnya dalam keterangannya, Rabu (11/8).
Dijelaskannya, emosi negatif tersebut yaitu bosan, sedih, kurang memahami materi, stress, bingung, merasa kurang bersemangat, merasa terbebani, kurang puas, hingga merasa kesulitan dalam belajar. Semakin tinggi jenjang pendidikan, maka gap antara emosi positif dan negatif semakin lebar.
“Ini menunjukkan ada proses belajar, strategi belajar atau kurikulum yang ternyata mungkin tidak tepat atau tidak dibutuhkan siswa dan tidak sesuai dengan perkembangan mental siswa itu sendiri,” terangnya.
Dengan demikian, terjadi proses belajar yang seragam baik itu jenjang SD hingga SMA. Saat gap emosi negatif semakin lebar di jenjang pendidikan yang lebih tinggi, ternyata tugas yang selama ini disampaikan guru tidak bisa meningkatkan kompetensi belajar siswa.
“Justru tugas-tugas tersebut menjadi beban. Juga ada kesulitan belajar yang dirasakan anak SD hingga SMA , artinya mereka merasa tidak produktif atau berkurang motivasi selama proses belajar,” katanya.
Dijelaskannya, kondisi itu akan berampak pada penurunan kecerdasan dalam membangun peradaban yang semakin berdampak ke learning loss.
“Kesulitan belajar juga menempati posisi tertinggi, ditambah dengan jaringan dan kurangnya motivasi, yang berpotensi terhadap terjadi kehilangan kesempatan belajar ganda,” katanya.
Menurutnya, hingga saat ini, belum ada fokus pemerintah untuk menangani masalah kesulitan belajar dan demotivasi sebagai permasalahan mendasar di pendidikan. Selama ini Pemerintah hanya berfokus pada penyelesaian masalah jaringan.
Selain itu, semakin dewasa jenjang pendidikan siswa maka semakin merasa tidak berguna proses belajar PJJ. Sebab merasa tidak produktif dan tidak mendapat keterampilan dan pengetahuan baru.
Karenanya, dia mendorong agar pemerintah dapat menyusun kurikulum darurat yang mendorong interaksi anak dengan lingkungan sosial sekaligus mengatasi persoalan nyata di kehidupan sehari-hari. Kurikulum darurat tidak cukup hanya mengurangi materi kurikulum kompetensi esensial saja, karena tetap tidak mengubah orientasi dan suasana kebatinan siswa. Kurikulum tersebut terkoneksi dengan keluarga dan kehidupan sosial untuk meningkatkan karakter dan nilai-nilai siswa.
“Dukungan orang tua berupa dukungan emosional, sangat dibutuhkan. Peran keluarga sangat kuat untuk membantu proses belajar siswa agar lebih positif dan termotivasi,” katanya.(fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: