Pembelian Buku Paket Gunakan Modus Baru
CIREBON- Pembelian buku paket di lingkungan pendidikan menggunakan modus baru. Biasanya bekerja sama dengan pihak orang tua, akhirnya pihak sekolah bisa menjual beli buku paket atau LKS. Menurut pengakuan salah satu orang tua murid di salah satu SD di Kecamatan Kejaksan, dirinya disuruh membeli buku paket senilai sekitar Rp300 ribu. Jelas hal itu memberatkan dirinya. \"Saya tahu, katanya sudah tidak boleh ada pungutan LKS atau buku paket, lalu kenapa masih ada yang seperti itu,\" ujarnya. Lebih lanjut dikatakan, buku paket yang harus dibelinya itu ditawarkan oleh salah seorang orang tua murid yang diduga menjadi koordinator. Sehingga, kata dia, proses jual beli bukunya melalui orang tua tersebut. \"Katanya kalau mau beli ke mama R, sekitar Rp300 ribu,\" lanjutnya. Hal tesebut juga dibenarkan oleh Kabid Litbang Dewan Pendidikan Kota Cirebon, M Rafi SE. Kepada Radar, Rafi menjelaskan modus jual beli LKS yang dilakukan saat ini adalah melalui salah satu orang tua murid. Maksudnya, kata dia, guru menggandeng orang tua murid untuk melakukan transaksi jual-beli buku paket di lingkungan orang tua. \"Modus yang baru itu kan jual belinya lewat orang tua. Jadi orang tua yang menjual. Bukan guru,\" ujarnya, kemarin. Selain itu, kata dia, modus lainnya adalah dengan menggandeng salah satu toko buku. Maksudnya, ketika buku paket yang disediakan tidak mencukupi untuk semua siswa, guru mengarahkan untuk membeli buku paket pada toko buku tertentu. Entah apakah ada keuntungan tersendiri atau tidak, namun dikatakan Rafi, kerja sama dengan toko buku adalah salah satu modus baru yang harus diwaspadai oleh orang tua. \"Ada modus baru dalam penjualan buku paket. Buku yang disediakan itu kan terbatas, nah buku-buku ini diarahkan disimpan di perpustakaan. Saat nanti banyak siswa yang butuh, jumlah buku tidak mencukupi,\" ujarnya. Tidak hanya pembelian buku paket, Rafi juga mengkritisi pengadaan LKS menggunakan dana APBD. Dikatakannya, LKS adalah barang habis pakai. Sehingga, bila setiap tahun dianggarkan sekitar Rp8 miliar untuk pengadaan LKS, maka hal itu termasuk memboroskan anggaran. \"LKS itu kan barang habis pakai. Ya mubazir dong namanya setiap tahun harus menghabiskan sekitar Rp8 miliar untuk pengadaan LKS,\" lanjutnya. Kecuali, kata dia, LKS tersebut bisa dibuat turun menurun untuk angkatan berikutnya. \"Bahkan seharusnya sudah tidak ada lagi LKS. Seorang guru itu kan membuat soal di papan tulis. LKS itu kan hanya lebar kerja siswa dan untuk melatih siswa,\" ujarnya. Sudah menjadi kewajiban seorang guru, kata dia, untuk rajin membuat soal latihan. Bila nantinya pengadaan LKS ini justru malah membuat guru semakin malah, hal itu sangat disayangkan. \"Yang dikhawatirkan nantinya guru hanya memerintah mengerjakan LKS lalu keluar. Apalagi ini yang membiayai APBD,\" ujarnya. Seharusnya, kata dia, yang ditekankan oleh wali kota dan dinas pendidikan adalah keaktifan guru untuk rutin membuat latihan soal untuk siswa. \"Harus ada instruksi dari wali kota dan juga ketegasan dari dinas pendidikan terkait dua hal ini. Baik buku paket ataupun LKS,\" tukasnya. (kmg)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: