Kejagung Tetapkan 7 Tersangka, Terkait Kasus Kredit Macet LPEI Rp4,7 Triliun

Kejagung Tetapkan 7 Tersangka, Terkait Kasus Kredit Macet LPEI Rp4,7 Triliun

KEJAKSAAN Agung (Kejagung) menetapkan tujuh tersangka dalam kasus kredit macet Rp4,7 triliun pada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan tujuh orang tersebut ditetapkan sebagai tersangka karena diduga merintangi proses penyidikan perkara.

“Ketujuh tersangka telah beberapa kali menolak memberikan keterangan sebagai saksi dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan perundang-undangan,” katanya dalam keterangan tertulisnya, Selasa (2/11) malam.

Disebutkannya, para tersangka tersebut yaitu IS selaku mantan Direktur Pelaksana UKM dan Asuransi LPEI 2016-2018; NH selaku mantan Kepala Departemen Analisa Risiko Bisnis II LPEI 2017-2018; EM selaku mantan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Makassar LPEI 2019-2020.

“Kemudian, CRGS selaku mantan Relationship Manager Divisi Unit Bisnis LPEI Kanwil Surakarta 2015-2020; AA selaku Deputi Bisnis pada LPEI Kanwil Surakarta 2016-2018; ML selaku mantan Kepala Departemen Bisnis UKMK LPEI; dan RAR selaku Manager Risiko PT BUS Indonesia,” ungkapnya.

Dijelaskannya, tujuh tersangka itu semula merupakan saksi. Namun mereka mangkir dua kali berturut-turut. Mereka memberikan alasan yang tak bisa dipertanggungjawabkan sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.

“Ketidakhadiran tujuh orang tersebut menyulitkan penanganan dan penyelesaian perkara korupsi yang ditangani Satgas Khusus pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung,” katanya.

Setelah ditetapkan sebagai tersangka, terhadap mereka penyidik Kejaksaan Agung langsung melakukan penahanan selama 20 hari ke depan di Rutan Kelas 1 Cipinang.

“Seluruh tersangka ditahan selama 20 hari sampai 21 November 2021 di Rutan Kelas 1 Cipinang,” katanya.

Para tersangka dijerat Pasal 21 atau Pasal 22 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Sebelumnya Kejagung tengah usut kredit macet LPEI kepada 9 perusahaan. Diduga LPEI melakukan penyaluran kredit tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik sehingga berdampak pada meningkatnya kredit macet/non performing loan (NPL) pada 2019 sebesar 23,39 persen.

“Dimana berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, LPEI diduga mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp4,7 triliun. Jumlah kerugian tersebut penyebabnya adalah dikarenakan adanya pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN),” jelasnya.

Diterangkan Leonard, berdasarkan statement di laporan keuangan 2019, pembentukan CKPN di tahun itu meningkat 807,74 persen dari RKAT dengan konsekuensi berimbas pada profitabilitas (keuntungan). Kenaikan CKPN ini untuk mengkover potensi kerugian akibat naiknya angka kredit bermasalah di antaranya disebabkan oleh ke – 9 debitur.

“Bahwa salah satu debitur yang mengajukan pembiayaan kepada LPEI tersebut adalah Grup Walet yaitu PT Jasa Mulia Indonesia, PT Mulia Walet Indonesia dan PT Borneo Walet Indonesia dimana selaku Direktur Utama dari 3 (tiga) perusahaan tersebut adalah Sdr S,” ujarnya.

“Pihak LPEI yaitu tim pengusul, kepala Departemen Unit Bisnis, Kepala Divisi Unit Bisnis dan Komite Pembiayaan tidak menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Dewan Direktur No. 0012/PDD/11/2010 tanggal 30 November 2010 tentang Kebijakan Pembiayaan LPEI,” tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: