Tol Al Haka
Terlalu malam untuk minta ganti. Pagi-pagi saya harus memimpin senam-dansa di halaman belakang harian Radar Lampung. Bayarannya: pesta durian.
Saya pun diminta potong tumpeng ulang tahun. Saya merasa sudah terlalu gemuk –naik 3 Kg. Maka saya minta diwakili karyawan paling muda. Untuk diberikan ke karyawan yang paling langsing.
Sedang untuk potong kue full kalori, saya minta karyawan yang paling rajin olahraga untuk melakukannya. Kue itu harus diberikan kepada yang paling keras bekerja.
Semua memilih si dia: Dina Puspasari. Ternyata ada karyawati Radar Lampung yang begitu gila olahraga. Makanya, ketika senam tadi, dia khusyuk sekali.
Jenis olahraganyi pun belum pernah saya dengar: strong nation. Saya pun minta agar Dina memeragakannya. Saya akan mencoba mengikutinyi.
Ampun. Saya tidak bisa. Tidak kuat. Ternyata saya laki-laki biasa.
Awalnya Dina ragu-ragu memutuskan: kepada siapa kue itu akan diberikan. Kriteria \'\'yang paling kerja keras\'\' membuatnyi berpikir keras. \"Cepat putuskan. Salah tidak apa-apa. Latihanlah membuat keputusan cepat. Itulah modal untuk menjadi pemimpin,\" kata saya.
Dia pun membuat keputusan cepat. Dia serahkan kue itu ke Purnawirawan, direkturnyi sendiri. Tapi semua sependapat: sang direkrut memang pekerja keras.
Dan saya menemukan Musangking Lampung. Ini bukan Musangking tapi Musangking. Saking Musangkingnya saya sampai minta dijadwalkan kapan panen berikutnya tiba.
Habis senam begitu seru –dengan perut sekenyang itu– saya takut: bisa tertidur di mobil. Apalagi perjalanan ke Palembang lewat jalan tol. Pasti mengantuk.
Saya lawan kantuk itu.
Saya ingin melihat jalan tol Sumatera ini secara kafah. Saya ingin menghitung: ada berapa perbaikan. Ada berapa pula sambungan jembatan yang sampai membuat penumpang terlambung.
\"Ya ampuuun, sudah sampai exit Metro,\" ujar saya tidak bisa menahan kekaguman perpendekan jarak tempuh. Belum lagi 30 menit exit Metro terlewatkan.
Saya pernah ke Metro: 10 tahun lalu. Begitu jauh. Begitu sulit. Begitu di pedalaman. Pantas kalau listrik lebih sering mati dan lebih sulit lagi menghidupkannya. Problem listrik di Metro sama beratnya dengan di Lombok Timur. Awalnya PLN tidak bisa masuk ke sana: dikuasai koperasi. Rakyat menderita tapi koperasinya tidak kooperatif.
Untung di perjalanan ini saya ditemani Mas Yanto dan Bung Aca.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: