Butet Suci
Ryu bercerita, masa kecilnya sangat sulit: selalu dimarah-marahi lingkungannya. Apalagi ketika SMP di Malang, gurunya terus marah padanya. \"Saya memang anak autis,\" katanya.
\"Saya dianggap tidak punya sopan santun dan tidak punya tenggang rasa. Kalau bicara apa adanya. Apa pun yang ingin saya katakan langsung saya ucapkan. Sering menyakitkan orang lain,\" kata Ryu.
\"Kapan Anda berubah menjadi \'dewasa normal?\" tanya saya.
\"Setelah saya mempelajari neuro science. Saya jadi tahu cara kerja saraf di otak,\" katanya.
\"Hah?\"
\"Tidak mengatakan semua yang ingin dikatakan, itu adalah yang melahirkan kerja sama,\" katanya.
Wow.
Dengan menyimpan sebagian yang ingin dikatakan membuat orang lain bisa menerimanya. Lalu terjadilah kerja sama.
Anak autis tidak bisa menyimpan apa yang ingin ia katakan atau yang ingin ia lakukan.
Pembicaraan saya terputus. Ada telepon masuk ke HP-nya. Wajah Ryu berubah menjadi serius. \"Lakukan scan. Sekarang juga. Kirim ke HP saya. 15 menit lagi saya telepon balik,\" katanya. Rupanya ada pasien yang gawat.
Pembicaraan terputus lagi karena istri Butet muncul. Ia menyapa istri saya dalam bahasa daerah Kutai. Mereka pun ngobrol dalam bahasa itu dengan asyiknya.
\"Istri saya Banjar, tapi rumahnyi dekat ibu kota kabupaten Kutai Kartanegara,\" ujar saya menjelaskan. Sedang istri Butet asli Kutai.
Ryu tidak hanya terkenal di kalangan medis, khususnya bedah saraf. Namanya juga sering disebut sebagai pemikir ketuhanan —terutama apakah Tuhan benar-benar ada.
Sebagai neuro scientist ia mendalami sistem kerja saraf. Kalau ada waktu lagi saya akan bertanya padanya: apakah khusyuk itu gejala agama atau gejala saraf.
Jam pertunjukan pun tiba. Saya harus masuk ruang teater. Dalam gedung ini ternyata jauh lebih bagus daripada luarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: