Humanisme Dahlan Iskan, sang Doctor of Humanities
AULA Philipine International Convention Center (PICC) yang hening saat prosesi penganugerahan gelar Doktor Kehormatan (Dr Honoris Causa) kepada Menteri BUMN Dahlan Iskan, tiba-tiba bergemuruh tawa. Sampai-sampai Francisco P.V Cayco MBM, Chairman and CEO Arellano University yang duduk di bangku senat bersebelahan dengan Maria Teresa N Rivera Ed.D, Vice President for Academic Affairs Arellano University, saling pandang, saling senyum, saling mengernyitkan dahi, dengan Maria Teresa N Rivera Ed.D, Vice President for Academic Affairs yang berada di sebelahnya. Seolah mereka tak percaya. Setragis itukah kisah masa lalu Dahlan Iskan? Raut muka Francisco dan Maria menampakkan kesan “tak percaya”. Terutama, ketika Dahlan Iskan bercerita tetang masa kecilnya yang sangat sangat miskin. Mantan Dirut PLN itu sejatinya hanya ingin menggambarkan bahwa suasana miskin era sekarang dengan kategori miskin di zaman itu, ibarat bumi dengan langit. Jauh berbeda. Miskinnya sekarang, masih bisa ke mall, punya TV, bahkan masih pegang handphone dan sepeda motor. Dahlan seolah sedang memutar kembali film dokumenter semasa SD yang dibintanginya sendiri. Dia harus berjalan kaki menuju ke sekolah yang jaraknya 6 kilometer. Artinya, Dahlan kecil harus berjalan kaki setidaknya 12 km pergi pulang. Itu pun dia jalani dengan tanpa sepatu maupun alas kaki. Dahlan kecil juga hanya memiliki sepotong baju. Bagaimana ketika baju itu kotor dan harus dicuci? “Saya main-main di sungai. Berenang dan menangkap ikan, sambil menunggu baju itu kering di jemuran,” jelas Dahlan. Kata-kata itu rupanya membuat seisi ruangan tak bisa menahan tawa. Tetapi, sebenarnya Dahlan tidak sedang bermaksud untuk melucu, apalagi melawak ala stand up comedy. Forum yang dihadiri sekitar 1000 audience yang terdiri dari dosen, mahasiswa, dan pelajar Indonesia yang bersekolah di Filipina itu terlalu serius untuk mengocok perut dengan humor yang menertawakan diri sendiri. Suasana serupa juga terjadi saat Dahlan memaparkan kisahnya ketika pertama kali dibelikan sepatu oleh ayahnya. Itu terjadi di kelas dua Madrasah Aliyah, setingkat SMA. “Saya dibelikan sepatu bekas, yang sudah berlubang di ujung jempolnya. Saya rawat, dan hanya saya pakai pada hari Senin, agar sepatu ini bisa awet dan masih bisa dipakai sampai lulus sekolah nanti,” kata Dahlan yang mengenakan toga dan topi kehormatan itu. Dia mengungkapkan kegelisahannya soal penduduk miskin di Indonesia yang jumlahnya sekitar 30 juta itu. Saat berdialog bebas dengan mahasiswa, Dahlan menyebut dari 30 juta itu, ada 2 juta yang betul-betul tidak bisa diapa-apakan. Tidak bisa dientaskan, dengan program apapun. Yakni orang-orang tua yang sakit. “Yang ini mutlak harus disantuni oleh negara. Ini yang harus diurus Kementerian Sosial,” kata dia. Ada lagi sekitar 2 juta dari yang miskin, tetapi memang mereka tidak mau maju. Mereka tidak mau dientaskan dari kubangan kemiskinan itu. Misalnya, tukang judi atau tukang mabuk-mabukan. Mereka itu semua sadar miskin, tetapi tidak mau dibantu keluar dari kemiskinan. “Yang begini ini ya sudah dibiarkan saja,” ungkapnya. Nah, ada lagi kelompok masyarakat yang kondisinya di atas kemiskinan, sudah tidak miskin, tetapi sangat rawan jatuh ke lubang kemiskinan lagi. Kalau sakit harus berobat dan harus mengeluarkan biasa besar. Namun, mereka terancam masuk kubangan miskin lagi. Jumlahnya cukup besar, sekitar 10 juta orang. “Nah, ini yang harus menjadi tanggung jawab asuransi kesehatan (BPJS-Kesehatan) untuk men-support biaya kesehatannya,” papar dia. Pemerintah, kata Dahlan, saat ini terlalu disibukkan mengurus kelas menengah yang jumlahnya besar di Indonesia. Memang kelompok ini lebih vokal, lebih nyaring suaranya, karena memiliki akses ke media, baik media mainstream maupun social media seperti Twitter, Facebook, dan lainnya. Mereka ingin dilayani nomor satu. “Itu salah satu ciri khas kelas menengah yang jumlahnya terus membengkak di Indonesia,” kata pria yang menguasai 100 macam senam sehat itu, termasuk mahir bergoyang Caesar “Buka Dikit Joss.” Dua ciri kelas menengah yang lain adalah: mereka lebih suka solusi cepat, instan. Dalam bahasa mereka, semua problem harus diselesaikan cepat, paling lambat minggu depan. Lalu mereka juga tidak tertarik dengan hemat energy, hemat air, hemat BBM, demi masa depan. “Ini yang pemerintah di negara-negara berkembang harus memahami dengan cepat dan mendasar,” ungkap Dahlan. Dalam pidato pengukuhan gelar Dr (HC) bidang kemanusiaan itu, Dahlan betul-betul menjiwai kisah-kisah masa lalunya yang kaya cerita humanisme. Karenanya tidak salah jika kampus yang sudah berumur 75 tahun itu menyematkan gelar kehormatan kepada Dahlan Iskan. Selama ini, gelar Dr (HC) baru dikeluarkan dua kali, pertama orang Filipina, dan kedua orang Indonesia yang bernama Dahlan Iskan. Kampus Arellano yang berada di 2.600 Legarda St, Sampaloc, Manila itu juga pernah memberikan penghargaan kepada mantan Presiden Gus Dur dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Tetapi bentuknya bukan gelar Dr (HC). Universitas yang didirikan oleh Florentino Cayco ini membeber alasan memberikan gelar itu kepada Dahlan. Pria asal Magetan, Jawa Timur itu disebut-sebut sebagai tokoh penuh warna, punya karier istimewa, agen pembawa perubahan yang amat mendasar, pelayan masyarakat yang tulus, menjalankan debirokratisasi yang menempatkan pemerintah sebagai pelayan publik, tokoh yang hangat, cinta damai, punya visi yang kuat untuk membangun Indonesia yang lebih baik, dan bersedia berbagi ilmu dengan filosofi pendidikan di Universitas Arellano. Reputasi besar Dahlan Iskan di PLN yang dianggap berpihak kepada rakyat miskin dengan menaikkan elektrifikasi di kelompok kelas bawah, juga diapresiasi positif. Menyelesaikan problem “mati lampu” di Jakarta dalam 6 bulan juga dipuji, termasuk momentum sejuta pemasangan listrik gratis yang dianggap sukses. Melistriki 5 pulau yang menjadi objek kunjungan wisata juga mendapat acungan jempol. Penghargaan The Best CEO of Indonesia tahun 2002, Entrepreneur of The Year, Earnst Young in 2001, Marketer of The Year 2010, dan banyak penghargaan menghampiri Dahlan. Namun, gelar Dr (HC) dari Universitas Arellano itu merupakan yang kedua bagi Dahlan Iskan, setelah sebelumnya dianugerani gelar serupa oleh IAIN Walisongo Semarang, Agustus 2013 lalu, untuk bidang Komunikasi dan Penyiaran Islam. Kala itu, IAIN memberikan gelar karena beberapa sebab. Pertama, Dahlan pernah drop out karena faktor ekonomi. Kedua, aktivitas menulis Dahlan Iskan masih terus dilakukan dan dipublikasikan di media umum. Ketiga, kemampuan Dahlan memimpin group media berkembang pesat tanpa harus mengantungi ijazah. Namun, ada hal yang tak kalah penting sehingga dijadikan alasan oleh Arellano University untuk memberikan gelar Doctor of Humanities ke Dahan Iskan. Harapan! Bahwa Filipina yang menjadi tetangga Indonesia berharap agar Dahlan Iskan juga memberi berkah kemajuan regional di kawasan ASEAN. Mereka bangga dengan kerja keras ala Dahlan Iskan yang telah membuktikan bahwa yang semula dianggap “tak mungkin” pun bisa terwujud.(don/medcen)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: