Melayu Dayak
Tentu, di zaman Cornelis, komposisi kepala-kepala dinas berubah. Orang-orang suku Dayak mulai lebih punya tempat. Waktu itu belum ada sistem lelang jabatan. Gubernur masih bisa menentukan sepenuhnya.
Setelah Cornelis terpilih, suku Melayu ternyata bisa menerima. Tidak ada gejolak apa pun. Tokoh-tokoh suku Melayu lebih memilih introspeksi: mengapa kalah. Salah sendiri.
Penyebabnya jelas: waktu itu calon dari suku Dayak hanya satu, Cornelis. Sedang calon dari Melayu tidak kepalang tanggung: empat pasang. Mereka adalah nama-nama besar. Tokoh-tokoh nasional.
Asli Kalbar: Oesman Sapta Odang (OSO) yang top itu, pengusaha besar Usman Ja\'far yang juga incumbent, Akil Mochtar yang kelak jadi Ketua Mahkamah Konstitusi dan ditangkap KPK itu. Satunya lagi Herman Kadir. Rupanya tidak ada yang mau mengalah. Tiga-tiganya pun kalah.
Periode berikutnya suku Melayu belum juga mau belajar dari kekalahan. Cornelis maju lagi sebagai incumbent. Juga sebagai calon tunggal dari suku Dayak.
Sedang dari suku Melayu, meski tidak lagi empat, masih juga tiga pasang. Tiga-tiganya bukan tokoh nasional: Armyn Aliayang, Morkes Effendy, dan Abang Tambul Husein.
Tiga-tiganya \"tewas\".
Begitu Cornelis tidak bisa maju lagi, suku Melayu kapok. Bukan sukunya yang kapok, tapi tokoh-tokohnya. Kali itu hanya satu pasangan dari suku Melayu.
Justru dari suku Dayak yang punya dua pasang calon. Salah satunya putri Cornelis yang sedang menjabat Bupati Landak: Karolin Margret Natasa.
Calon dari Dayak satunya lagi: Milton Crosby.
Sedang calon satu-satunya dari suku Melayu: Sutarmidji. Suara dari suku Dayak terbelah. Sutarmiji terpilih jadi gubernur Kalbar. Namanya satu kata itu. Nama istrinya juga satu kata: Lismaryani.
Mungkin saja Sutarmiji terpilih bukan hanya karena satu-satunya calon dari suku Melayu. Bisa jadi Sutarmiji memang disukai. Ia orang Pontianak. Alumnus Universitas Tanjungpura. Sampai S-2. Hukum.
Sutarmiji adalah wali kota Pontianak yang berprestasi. Dua periode. Pontianak berbenah keras selama ia pegang. Pinggir sungai Kapuas ia bikin waterfront. Bukan saja sebelah sini.
Juga di seberang sana. Kalau saja lampu di sepanjang waterfront itu dibuat benderang dan berseni, pasti jadi pusat wisata lokal. Sayang masih redup sekali. Kalah ramai dengan bundaran dekat kampus Untan.
Trotoar sepanjang jalan utama Ahmad Yani juga dibenahi. Dibuat seperti Jalan Thamrin Jakarta: trotoarnya di balik bunga dan pohon pelindung —pejalan kaki terasa terlindungi dari kekejaman lalu-lintas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: