Boikot Pileg dan Pilpres, Ancaman Seluruh Kuwu jika RUUD Tak Direalisasikan

Boikot Pileg dan Pilpres, Ancaman Seluruh Kuwu jika RUUD Tak Direalisasikan

CIREBON - Ratusan kuwu yang tersebar di Kabupaten Cirebon mengancam memboikot pemilu legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres), jika pada tahun 2013 ini, pemerintah pusat tidak merealisasikan Rancangan Undang-Undang Desa (RUUD). “Boikot yang kami lakukan ini serius dan tidak main-main,” tegas Kuwu Desa Kepongpongan, Kecamatan Talun, Wawan Setiawan di hadapan anggota Pansus DPR RI RUUD, Sunaryo Adhiwardoyo SH MM, saat dialog interaktif di BPU Bagas Raya (Yadika), Minggu (24/11). Boikot yang dilakukan ini, tegas Wawan, lantaran pemerintah pusat tidak segera mengesahkan RUUD, terkait masa jabatan kuwu dan APBN untuk pemerintah desa. “Selama ini yang bersentuhan langsung itu para kuwu atau pemerintah desa, bukan pemerintah daerah, provinsi atau pun pusat. Olah karena itu, kami mendesak agar RUUD disahkan di tahun 2013 ini,” jelasnya. Hal senada diungkapkan Kuwu Desa Cikeduk, Kecamatan Dukupuntang, Agus SSos. Dia mengatakan, kuwu akan bersatu melakukan boikot saat pesta demokrasi 2014 berlangsung. Sebab, bagaimana pun jantung pemerintahan tersebut ada di wilayah grass root atau desa. “Kami yang merasakan betul gesekan dan keadaan masyarakat bawah, tapi seolah-olah kami yang selalu jadi tumbal oleh pemerintah. RUUD adalah harga mati bagi para kuwu,” tegasnya. Sehingga, wajar jika para kuwu menuntut pemerintah pusat agar masa jabatan kuwu maksimal 16 tahun dalam dua periode. Sebab, waktu enam belas tahun dinilai cukup untuk membangun desa. “Memperbaiki dinamika politik di desa tidak cukup satu atau dua tahun, tapi butuh tiga tahun lebih, dengan melihat seberapa besar gesekannya,” terangnya. Ketua DPD Parade Nusantara Kabupaten Cirebon, Sukaryadi SE berjanji akan terus memperjuangkan para kuwu. Hanya saja, untuk melakukan boikot, pihaknya akan menunggu instruksi lebih lanjut setelah audiensi dengan pansus di DPR RI. “Insya Allah minggu depan, kami akan bertemu anggota dan ketua pansus di Jakarta. Delegasi-delegasi dari setiap daerah pun mulai dari Kuningan, Indramayu, Majalengka, Cirebon akan berangkat ke Jakarta,” ucapnya, kemarin. Jika pada akhirnya RUUD tidak disahkan di tahun 2013 ini, sampai pileg atau pilpres nanti, membuktikan krisis kepercayaan masyarakat kepada wakil rakyat yang duduk di pusat. Kemungkinan besar, kata mantan kuwu Desa Kejuden, Kecamatan Depok itu, pihaknya akan melakukan boikot besar-besaran saat pemilu nanti. Tidak hanya di Kabupaten Cirebon, tapi seluruh Indonesia pun akan melakukan hal yang serupa. “Ini adalah kepentingan bersama untuk membangun desa, maka yang tersebar diseluruh penjuru tanah air juga akan memboikot. Jangankan seluruh Indonesia, dua desa saja yang memboikot secara otomatis menjadi kegagalan umum. UUD itu merupakan harga mati bagi kita,” tukasnya. Ditambahkannya, aspirasi agar diadakannya UUD itu karena keinginan dari masyarakat sendiri. Karena, selama ini desa selalu dijadikan tumbal, pembodohan dan selalu disalahkan di tingkat desa oleh pemerintah. “Pemeritah pusat, kabupaten, provinsi tidak pernah mengakui kekurangan desa,” imbuhnya. Selain UUD difokuskan pada masa jabatan kuwu selama 16 tahun dua kali periode, ada juga yang paling vital yakni anggaran APBN yang digelontorkan untuk desa minimal 10 persen dengan kalkulasi Rp1.800 triliun berarti desa bisa mendapatkan Rp1,6 miliar pertahun. “Kami tidak muluk-muluk, cukup Rp1 miliar saja, dan itu seharusnya dapat terwujud,” terangnya. Asosiasi Kuwu Seluruh Indramayu (AKSI) Kabupaten Indramayu, Tarkani AZ yang hadir dalam acara itu mengaku telah membuat surat pernyataan melakukan boikot. Dalam pernyataan tersebut tertuang tidak akan melaksanakan tugas pembantuan dengan tidak memberi rekomendasi pada warga atau masyarakat yang menjadi petugas PPS, KPPS oleh KPUD Kabupaten Indramayu. Selain itu, pemerintah desa tidak bersedia terlibat atau dilibatkan dalam pembentukan TPS manapun untuk pileg dan pilres 2014 mendatang. “Boikot ini bukan sekadar boikot, tapi para kuwu juga akan memecatkan seluruh jalur utama pulau jawa yakni pantura. artinya UUD itu adalah harga mati dan tidak bisa ditawar-tawar lagi bagi kami para kuwu. Apa susahnya sih, pemerintah dari masa jabatan enam tahun ke delapan,” terangnya. Dia juga memgharapkan APBN pusat 10 persennya dialokasikan ke pemerintah desa tanpa perantara. Artinya langsung diberikan kepada pemerintah desa. “Bagaimana pun juga desa merupakan objek dari segala objek,” ucapnya. Terpisah, anggota pansus DPR RI RUUD Sunaryo Adhiwardoyo SH MM mengatakan, sebetulnya bahwa pilwu sendiri belum masuk dalam rezim UU pemilu, sehingga seluruh aturan yang diatur oleh UU pemilu tidak berlaku untuk pilwu. “Jadi untuk many politic itu sudah secara terang-terangan saat pilwu. Saya berharap pilwu ini masuk dalam UU pemilu, itu yang sedang saya usahakan,” katanya. Dia juga memahami jabatan kuwu itu alangkan baiknya antara dua kali delapan masa jabatan. Sebenarnya dengan azaz rekognisi dimana Negara mengakui dan menghormati kesatuan – kesatuan masyarakat hukum adat seperti desa, nagari, gampong, banua, lembang, pakraman atau sebutan lainya. “Artinya rekognisi ini sesuai dengan keberagaman, organisasi, basis material dan hukum adat,” jelasnya. Kalau enam tahun, kata Sunaryo, untuk model pembangunan itu sendiri tidak akan tercapai. Setidaknya dengan RUUD ini, bahwa desa nantinya akan memiliki otonomi khusus dengan asas rekognisi, subsidiaritas, dan delegasi. “Memang ada andil negara, tapi ketika ada UUD itu desa diberikan kewenangan luas diantaranya menerima anggaran pusat dari APBN,” tukasnya. Ancaman boikot yang dilakukan para kuwu dengan tertulis tentunya sudah diakomodir oleh pansus. “Ancaman mereka sudah diterima oleh pansus, tentunya ini akan menjadi salah satu pertimbangan dalam mengesahkan RUUD tahun ini,” pungkasnya. (sam)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: