Pembeli Ngaku Tak Diundang, Dimulainya Pembangunan Masjid Pengganti Tergantung HM Saelan

Pembeli Ngaku Tak Diundang, Dimulainya Pembangunan Masjid Pengganti Tergantung HM Saelan

CIREBON - Pertemuan pembahasan penjualan tanah kompleks Masjid Teja Suar yang digagas Pemkab Cirebon Senin (2/12) lalu, di Kantor Bupati Cirebon diketahui tanpa dihadiri pembeli tanah, pengusaha berinisial ABZ. ABZ kepada Radar kemarin (3/12) membenarkan pada pertemuan tersebut dirinya tidak hadir. Ketidakhadirannya bukan tanpa sebab. Sejak pagi hingga menjelang pertemuan di Sumber, ABZ mengaku tidak pernah mendapat surat undangan mengikuti rapat perihal Masjid Teja Suar. Padahal kalau memang diundang, dirinya akan hadir untuk memberikan penjelasan. “Karena tidak diundang, ya tidak datang,” katanya. Pria berperawakan tinggi besar ini menyatakan ingin persoalan segera selesai. Dia membeli tanah  tersebut awalnya tidak mengira akan muncul persoalan. Posisinya sebagai pembeli membuat dirinya tidak bisa berbuat banyak, karena yang punya kewenangan adalah H M Saelan selaku pemilik  tanah sebelumnya. “Kalaupun ada yang kurang setuju terhadap penjualan tanah itu, sebenarnya ini bisa diselesaikan dengan baik-baik,” kata ABZ. Disinggung mengenai kapan masjid pengganti akan mulai dibangun, ABZ lagi-lagi belum berani memberikan kepastian. Karena, pembangunannya tergantung kepada HM Saelan. “Apalagi beliau (HM Saelan, red) yang memiliki desain sendiri tentang masjid baru pengganti Teja Suar,” katanya. Mengenai jumpa pers Takmir Masjid Teja Suar,  ABZ mengaku tidak pernah tahu. Hanya saja dirinya mendengar kabar itu. Muncul juga berita  mengenai anak buahnya ikut datang di jumpa pers. ABZ menyatakan, keberatan dua orang yang datang ke Masjid Teja Suar adalah orangnya. Keduanya mengaku juga utusan dari HM Saelan. “Jangan dikatakan orang yang dekat saya lalu dikatakan orang saya. Kan tidak bisa seperti itu. Kalau mereka datang pada pertemuan dengan HM Saelan waktu itu, memang iya mereka datang,” ujarnya. Oleh karena itu, ABZ berharap, kedua orang yang memberikan rilis pernyataan sikap dari HM Saelan tidak serta merta  dikaitkan dengan dirinya. Mereka utusan dari HM Saelan sebagai pemilik tanah kompleks Masjid Teja Suar. **HARAM Selain Ketua MUI Kabupaten Cirebon KH Buya Ja\'far Aqil Siradj dan Kasi Penyelenggara Syariah Kantor Kemenag Kabupaten Cirebon H Sambas SAg MPd yang mengatakan bahwa suatu tempat jika dibangun dalam bentuk masjid, sudah dengan sendirinya (otomatis) hukumnya menjadi wakaf dan haram hukumnya untuk diperjualbelikan. Hal yang sama juga sama diungkapkan oleh Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kabupaten Cirebon H Muntakhobul Fuad SAg MPd. Ia kembali menegaskan, secara harfiah dan terminologi hukum Islam, sebuah tanah jika di atasnya berdiri masjid dan ditempati salat Jumat sudah secara otomatis menjadi haqqullah (hak Allah). Tanah  itu tidak boleh dijual, diwariskan, dipindah, diubah dan dihibahkan. \"Sudah secara otomatis menjadi haqqullah,\" tegasnya, Selasa (3/12). Semenara itu, mengenai bentuk solidaritas atau upaya penyelamatan masjid, semisal menyumbangkan uang atau memberikan kompensasi untuk Masjid Teja Suar, diungkapkan Muntakhobul Fuad, bertentangan dengan syar\'i dan secara tidak langsung, sama saja sudah melakukan transaksi jual beli masjid. \"PR (pekerjaan rumah, red) kita ialah sama-sama menertibkan mana saja masjid dan musala yang belum bersertifikat wakaf, harus segera disertifikatkan. Supaya kejadian tersebut untuk ke depannya tidak terulang lagi,\" katanya. Di tempat terpisah, Syaikhul Mursyid Majelis Tawajjuh Indonesia, KH R Abah Anom Kusumajati ikut geram terkait penjualan Masjid Teja Suar. Dalam pandangannya, ketika seseorang sudah berniat mendirikan masjid, maka masjid itu pun memiliki hukum tertentu. “Artinya ya menjadi hukumnya masjid. Dan itu tidak diperbolehkan direlokasi maupun dialihfungsikan,” katanya. Bagaimana jika masjid tersebut milik pribadi dan bukan wakaf? “Ya tetap saja kembali kepada hukum niat awal. Kalau niat awalnya mendirikan masjid maka dihukumi masjid,” jawab pengasuh Pondok Pesantren Balerante, Palimanan. Berbeda, lanjut dia, jika lahan tersebut diniati mendirikan musala. Kalau musala bisa saja direlokasi karena semua tempat bisa dijadikan musala. (abd/via/fen)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: