Ada Koruptor Kelas Wahid di Jatim

Ada Koruptor Kelas Wahid di Jatim

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menganggap Jawa Timur (Jatim) tak bebas dari keberadaan pelaku korupsi. Meski tidak menunjuk secara terbuka, Ketua KPK Abraham Samad sempat menyatakan kalau ada koruptor kelas wahid di Jatim. \"Di Jawa Timur itu perampoknya kelas wahid, cara mereka merampok sangat canggih,\" kata Samad saat menjadi pembicara pada refleksi akhir tahun Pekan Politik Kebangsaan di kantor ICIS di Jakarta kemarin (12/12). Pernyataan Samad terlontar saat menjawab seorang peserta yang mengkritisi tidak adanya gebrakan KPK di provinsi yang dipimpin Soekarwo tersebut. Peserta itu membandingkan apa yang dilakukan KPK di provinsi lain, termasuk menguliti praktik korupsi di provinsi Banten. Dia menambahkan, pejabat di Jatim yang dimaksud juga sudah sangat berpengalaman. Sebelum beraksi, sang koruptor selalu memikirkan cara terbaik untuk tidak meninggalkan jejak. \"Yang lain itu perampok baru, gampang untuk dideteksi, kalau yang ini beda,\" imbuh mantan aktivis antikorupsi ini. Samad mengibaratkan, yang bersangkutan seperti halnya seorang pembunuh berpengalaman. \"Dia sudah pakai sarung tangan, jadi tidak tertinggal lagi jejaknya,\" tandasnya. Meski demikian, lanjut dia, pihaknya tetap menyimpan keyakinan bahwa suatu saat KPK akan menemukan celah untuk menyeret pejabat tersebut. \"Insya Allah, kami minta dukungan dari semua,\" ucapnya. Hingga berakhirnya acara, Samad enggan menjelaskan secara detail informasi soal canggihnya korupsi pejabat di Jatim. Dia tidak menyebut kasus, modus, apalagi identitas pejabat yang bersangkutan. Yang pasti, dalam kesempatan tersebut, Samad memaparkan bahwa perilaku korupsi sudah meluas di hampir seluruh struktur, mulai pusat hingga daerah. Semua dilakukan menggunakan modus lebih canggih. Korupsi, menurut dia, telah mengalami metarmofosa dan regenerasi. \"Generasi muda pun saat ini mulai meniru tindak perilaku korupsi,\" katanya. Dia membeber bahwa adanya beberapa sektor korupsi terbesar di negeri ini. Di antaranya, sektor kedaulatan pangan, sektor ketahanan energi dan lingkungan, serta sektor pendapatan dan belanja negara. Tiga sektor itu strategis karena mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Dampak korupsi di sektor pangan, menurut dia, telah tergambar kondisi petani-petani di Indonesia yang memprihatinkan sampai sekarang. \"Ada permainan kartel atau mafia dengan aparatur pemerintah di sektor ekspor-impor pangan,\" katanya memberikan contoh. Di tempat yang sama, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie menilai korupsi yang merajalela disebabkan oleh penerapan liberasasi politik. Demokrasi liberal yang tidak beraturan sering kemudian akhirnya dibajak dan disalahgunakan. Lebih lanjut, kata Jimly, demokrasi liberal telah menghasilkan adanya politik oligarki dan politik dinasti. \"Politik dinasti ini lah yang menghasilkan kesenjangan politik, politik dinasti menghasilkan disparatis kaya-miskin semakin jauh. Selama 15 tahun kita menikmati kebebasan yang ada untuk kepentingan diri-sendiri,\" ujar ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) itu. Atas kondisi tersebut, dia mengusulkan agar lembaga konstitusi dan legislatif memperbaiki sistem demokrasi menjadi lebih efisien. Tujuannya agar permasalahan pemilu di Indonesia bisa diminimalisasi. Pemilu presiden dan pemilu legislatif, menurut dia, ke depan perlu dilakukan secara bersamaan. \"Ini untuk menghindari terjadinya penyanderaan pemilu presiden oleh hasil pemilu legislatif. Pemilihan gubernur dan bupati cukup dipilih oleh DPRD secara terbuka, untuk mengurangi biaya pemilu,\" ujarnya. Wakil kepala daerah, kata Jimly, juga tak harus dipilih langsung sepaket dengan kepala daerah. Bila perlu ditiadakan, dikarenakan sering adanya konflik antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah. \"Kepala daerah cukup satu periode saja. Karena terlalu berkuasanya calon-calon incumbent. Pendekatan kepemimpinan dan sistem perlu dilakukan untuk membenahi permasalahan pemilu saat ini,\" tandasnya. Senada dengan Jimly, Wakil Ketua PBNU KH As’ad Said Ali menilai sistem politik saat ini telah melahirkan banyak koruptor. Ditambah lagi, pemilihan umum yang juga menambah kondisi menjadi semakin amburadul. Dia juga mengatakan, kalau Indonesia sejatinya telah menerapkan demokrasi Neo-liberal yang materialistis dan pragmatis. \"Membuat sistem pemilihan umum sangat bergantung pada modal. Money politik secara sistemik meluas di masyarakat mulai dari aparat negara yang bermain uang sampai anak muda zaman sekarang juga banyak yang korupsi,\" tandasnya. As’ad juga menyoroti konflik dan timpang tindih kewenangan dan fungsi antara Bawaslu dengan KPU. \"Dalam Pemilu mendatang, IT juga dapat dimainkan untuk melakukan kecurangan. Karenanya, DPT harus menjadi perhatian awal untuk menghindari kecurangan atau manipulasi data,\" papar yang juga menjadi salah satu pembicara. Masih di tempat yang sama, peneliti ICW Abdullah Dahlan, mengungkap Pemilu 2014 merupakan momentum politik yang acapkali menjadi relasi praktik korupsi. \"Warna politik di pemilukada bersifat transaksional, dengan bentuk-bentuk suap politik. Praktik politik uang masih bisa menjadi strategi politik yang dilanggengkan. Politik uang saat ini memiliki beragam pola-pola,\" ujarnya. Dia mencontohkan, adanya upaya konsolidasi secara masif antara partai politik untuk menggunakan kebijakan sebagai instrumen meraih kemenangan pemilu. Seperti program-program bakti sosial yang disisipkan kampanye-kampanye politik. \"Menjelang tahun politik 2014, partai politik bekerja dengan giat untuk menggalang dana atau modal politik. Dimana modal politik ini cenderung didapat dari uang negara,\" katanya memperingatkan. (dyn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: