Misteri ‘Si Kembar’ Saka Tatal

Misteri ‘Si Kembar’ Saka Tatal

PERNAHKAH kita berkunjung ke Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak? Mengapa dari sembilan wali di Pulau Jawa, hanya Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga yang membangun masjid nyaris sama? Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak memiliki banyak kesamaan. Penggunaan tiang saka tatal sebagai tiang utama, terbuat dari serpihan-serpihan kayu yang diikat menjadi satu. Dalam \'Tuanku Rao\', MO Parlindungan mengungkapkan saka tatal digunakan untuk salah satu soko guru Masjid Demak, modifikasi dari tiang layar yang biasa digunakan para tukang kayu pembuat kapal Jung Tionghoa, terkenal kuat dan tahan menghadapi topan-badai. Hal ini, menunjukkan para wali di Pulau Jawa berasal dari negeri Tionghoa. Penelusuran sejarawan Cirebon, Besta Besuki Kertawibawa, Bong Swi Hoo (Raden Rahmat) adalah cucu dari Haji Bon Tan Keng dari Campa. Demikian juga Adipati Tuban, Aria Teja, memiliki nama asli Haji Gan Eng Tju, yang menurunkan Sunan Kalijaga. Tampaknya, Parlindungan terlalu dini menyimpulkan sokoguru dari kayu tatal dan banyak wali di Pulau Jawa berasal dari negeri Tionghoa. Mengapa? Tokoh Laksamana legendaris di masa itu, Laksamana Zheng Ho masih keturunan Mongol lahir di Yunan, diperkirakan keturunan Mongo-Turki dari Asia Tengah, dan lahir dari keturunan keluarga muslim. Di samping itu, nama Tionghoa tidak menjadi ukuran seseorang berasal dari Tionghoa asli. Bisa jadi, nama Tionghoa adalah penyebutan penulis Tionghoa untuk nama lokal yang ditulis dengan lafal Tionghoa. Semisal, penyebutan Raja Majapahit \'Prabu Wisesa\' menjadi \'Yang Wi Si Sa\' atau \'Prabu Kertabumi\' dalam lafal Tionghoa disebut \'Kung Ta Bu Mi\'. Selain itu, Syarif Hidayatullah, saat selesai berguru kepada Syaikh Najmuddin Kubra di Mekkah, diberi nama Madzkurullah dan Arematullah, setelah selesai berguru kepada Syaikh Muhammad Athailah. Atau, dikenal dengan sebutan Abdul Jalil, ketika selesai berguru kepada ayah Sunan Giri di Pasai. \"Mungkin saja, Syarif Hidayatullah memiliki nama Tionghoa yang diberikan komunitas Tionghoa di Cirebon, sebab salah seorang istrinya, putri Ong Tien, berasal dari negeri Tionghoa,\" ujarnya. Terlepas dari kontroversi tersebut, penggunaan tiang tatal sebagai sokoguru masjid, jika benar sebagai simbol bahwa para wali keturunan Tionghoa. Pertanyaannya, mengapa hanya ada dua masjid yang menggunakan kayu tatal sebagai sokogurunya? Padahal, jumlah wali di Pulau Jawa dikenal sembilan dan satu wali memberi nama daerah tempat tinggalnya sesuai dengan nama satu daerah di Palestina, yaitu Kudus. Diperkirakan, diambil dari al-Quds, salah satu kota suci di Yerusalem. Ada yang menarik, dibalik proses pembuatan saka tatal, dikatakan simbol persatuan. Pertanyaannya, persatuan yang dimaksud adalah persatuan antarsiapa? Apakah antarkaum Muslim? Bukankah mereka telah disatukan melalui pemimpin mereka yang tergabung dalam wadah Dewan Walisanga? Atau, ada tujuan persatuan yang lebih besar dan mengapa hanya digunakan untuk Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak? Bahkan, ada sebagian orang menganggap Sunan Kalijaga berasal dari Cirebon. Tentunya, rangkaian kisah itu lebih lanjut digali kebenarannya. (wb)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: