Paradoks Grasi Corby dan Kampanye Anti Narkoba SBY
Oleh : Dian Arief Setiawan* Delapan tahun lalu, tepatnya 29 Juni 2005, Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia, menegaskan sikapnya tentang grasi bagi pelaku kejahatan narkotika. Saat itu, pada Peringatan Hari Internasional Melawan Penyalahgunaan dan Peredaran Narkoba di Istana Negara, Presiden mengatakan grasi untuk jenis kejahatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika tidak akan pernah dikabulkan, sejak saat Indonesia berdiri sampai saat ini dan saat-saat mendatang, termasuk bagi Corby (Schapelle Corby). “Ini menunjukkan kita tidak pernah memberi toleransi kepada jenis kejahatan ini,” katanya. Pernyataan Presiden, sekaligus janji seorang pemimpin, tersebut berselang sebulan sejak peristiwa penangkapan Corby. Schapelle Leigh Corby, warga Australia, ditangkap di Bandara Ngurah Rai Bali 8 Oktober 2004 karena kedapatan menyelundupkan 4,2 kilogram ganja. Pada 27 Mei 2005 ia divonis 20 tahun penjara di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar. Pada 12 Januari 2006 Mahkamah Agung (MA) memperkuat putusan PN Denpasar. Corby tetap dihukum 20 tahun, MA juga menolak peninjauan kembali (PK). Sampai saat ini Corby, yang oleh media dijuluki “Ratu Mariyuana”, tidak pernah menyatakan atau mengakui bersalah atas perbuatannya. Yang terjadi tujuh tahun kemudian sangat bertolak belakang. Orang yang sama, pejabat yang sama, yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 15 Mei 2012, menandatangani keputusan presiden tentang pemberian grasi berupa pengurangan masa hukuman sebanyak lima tahun terhadap Corby. Grasi, yang menjadi salah satu hak prerogatif presiden, merupakan pengampunan yang diberikan atas dasar belas kasihan oleh seorang Kepala Negara. Tindakan kepresidenan Yudhoyono dalam hal grasi ini tak hanya inkonsisten dengan ucapannya, bahkan sangat bertolak belakang dengan presiden pendahulunya, Megawati Soekarnoputri dalam menyikapi kejahatan narkoba. Tentang hal itu, Megawati satu kata dengan perbuatan. “Saya tidak pernah mau memberikan toleransi kepada kasus-kasus narkoba. Semua ajudan, staf dan menteri-menteri saya tahu bahwa saya konsisten mengenai hal ini. Saya perintahkan agar semua permohonan grasi terhadap terpidana kasus narkoba harus dimasukkan ke dalam map merah. Jadi, kalau ajudan masuk membawa map merah maka saya langsung tahu bahwa ada permohonan grasi masalah narkoba yang disampaikan pada saya. Lalu tanpa ragu-ragu saya akan menolak permohonan itu. Tidak ada ampun dari saya untuk masalah narkoba! Bayangkan berapa jumlah generasi muda kita yang akan jadi korban akibat narkoba ini,” kata Megawati Soekarnoputri Pemberian grasi terhadap Corby langsung menimbulkan berbagai tanggapan berbagai kalangan, terutama pegiat gerakan antinarkoba. Sedikitnya ada tiga persoalan yang menjadi sorotan atas kebijakan Presiden Yudhoyono. Pertama, jelas bahwa tindakan pemberian grasi terhadap Corby oleh Presiden Yudhoyono adalah tindakan inkonsistensi, tidak satunya kata dengan perbuatan, yang dilakukan oleh orang yang sama (Presiden Yudhonono) tentang hal yang sama (pemberian grasi kepada pelaku kejahatan narkoba) dengan obyek yang sama (Corby): Juni 2005 tidak, Mei 2012 memberikan. Tentulah perilaku seorang pemimpin, apalagi pemimpin negara, seperti ini bisa berakibat buruk pada proses pendidikan anak bangsa. Anak-anak akan melihat bahwa seorang pemimpin ternyata tidak harus konsisten dalam sikap, dia boleh plin-plan, kemarin menyatakan tidak-hari ini menyatakan boleh untuk hal yang sama. Jika pernyataan Presiden Yudhoyono pada Juni 2005 merupakan janji seorang pemimpin, maka anak-anak akan mendapat contoh bahwa seorang pemimpin, seorang presiden, boleh melanggar janji. Kedua, inkonsistensi sikap dan tindakan Presiden Yudhoyono menjadi kontradiktif, bertentangan, kontraproduktif, bahkan sebuah ironi yang ironis, dengan upaya penegakan hukum dalam memberantas kejahatan narkoba. Upaya penegakan hukum terhadap kejahatan narkoba, bahkan pernyataan perang terhadapnya, didasari kenyataan bahwa Indonesia sudah dalam kondisi bahaya narkoba dilihat dari kualitas dan kuantitas kejahatan serta kerugian yang ditimbulkan. BNN (Badan Narkotika Nasional) mengemukakan jumlah kejahatan narkoba meningkat dari 26.000 kasus pada 2010 menjadi 29.000 kasus pada 2011. Jenis narkoba yang diperdagangkan meliputi heroin, kokain dan sabu kualitas baik. Indonesia juga bukan lagi sebagai wilayah transit peredaran narkoba internasional dan pasar, sebab telah menjadi produsen. Tak hanya itu, kerugian ekonomi yang ditimbulkan juga tak sedikit. Lebih dari Rp 50 triliun per tahun. Itu, menurut BNN (Kompas, 24/2/12), dihitung dari uang yang disedot ke luar negeri oleh bandar narkoba. Selain itu biaya rehabilitasi medis korban narkoba, dampak sosial, turunnya sumberdaya manusia sebab cacat permanen otak, dan dampak samping berupa kejahatan dari mencuri hingga kekerasan. Terkait kerugian sosial, BNN menyebutkan setiap hari 50 orang meninggal karena narkoba secara langsung atau tertular HIV melalui jarum suntik. Yang dirugikan juga bukan hanya pemakai, juga keluarga dan masyarakat umum. Contoh paling jelas adalah Afriyani Susanti yang menabrak 12 pejalan kaki – sembilan orang di antaranya tewas seketika – di Jalan Ridwan Rais, Jakarta Pusat. Afriyani terbukti menggunakan ekstasi dan masih dalam pengaruh pil tersebut ketika mengendarai mobilnya. Dari aspek korban, pada 2008 menurut survei BNN bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan UI ada 3,6 juta orang di Indonesia menjadi pecandu narkoba. Bila tak dilakukan penanganan serius, pada 2015 akan terdapat 5,1 juta orang. Dari jumlah 3,6 juta orang itu, yang lebih memprihatinkan adalah 1,1 juta orang di antaranya pelajar/mahasiswa dengan komposisi 40% pelajar SLTP, 35% pelajar SLTA dan 25 % mahasiswa (Kompas, 14/3/2008). Karena dampak buruk narkoba yang luar biasa terhadap kemanusiaan inilah maka tidak ada negara-negara lain yang memberikan grasi kepada pelaku kejahatan narkoba (Republika.co.id, 31/5/12). Artinya, hanya Indonesialah satu-satunya negara yang memberikan grasi itu, dan pelakunya adalah Presiden Yudhoyono, seorang yang sebelumnya tegas-tegas menyatakan tidak akan memberi grasi kepada pelaku kejahatan narkoba. Jika sudah demikian, lalu apa artinya lagi pernyataan Wakil Presiden Beodiono saat peresmian Balai Rehabilitasi BNN di Makassar 26 Juni 2012 (Republika online, 26/6/12) bahwa: 1. Tindakan kejahatan narkoba merupakan ancaman buat kemanusiaan. Untuk itu perlu tindakan all-out untuk memerangi narkoba ini. 2. Kejahatan narkoba ini bisa membinasakan manusia secara individu, keluarga, masyarakat bahkan sebuah negara. Amat wajar jika pernyataan Wakil Presiden itu hanya dipandang sebelah mata, untuk tidak mengatakan dicibir, oleh publik. Sebab, sang partner yakni Presiden justru telah menunjukkan tindakan yang berkebalikan. Alih-alih menunjukkan dukungan sikap “all-out” dalam memerangi kejahatan narkoba, Presiden malah mengampuni dengan memberikan grasi. Ketiga, selain inkonsisten dan kontradiktif-kontraproduktif, tindakan Presiden memberikan grasi kepada seorang pelaku kejahatan narkoba bernama Corby juga dinilai aneh. Bukan aneh dari sisi hukum. Keanehan ini muncul karena alasan yang disampaikan para pembantu Presiden (presiden sampai saat ini belum menyampaikan alasan keputusannya secara langsung) berbeda-beda. Publik bisa menafsirkan hal ini sebuah kesengajaan agar alasan sesungguhnya tak bisa diketahui publik. Perhatikan saja penjelasan singkat Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi. Katanya, seperti dikutip Detik.com (23/5/2012), ada beberapa pertimbangan dalam pemberian grasi bagi Corby. Pertimbangan pertama, grasi itu merupakan sistem hukum yang sah di Indonesia. Selain itu, Sudi meminta saran dari Mahkamah Agung dan menteri yang terkait usulan ini. “Tentu pertimbangan itu mengarah pada untuk dipenuhinya grasi,”ujar Sudi. Masih menurut Sudi, pemberian grasi ini bukan berarti memberikan toleransi kepada kasus narkoba di Indonesia. Sebab, sistem grasi sudah berlaku sejak lama dan berhak dikeluarkan oleh presiden. Sudi juga menyebutkan pertimbangan kemanusiaan. Lain lagi penjelasan Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin. Kata Amir, grasi untuk Corby sebagai bentuk diplomasi agar ada langkah timbal balik dari pemerintah Australia terhadap WNI yang ditahan di Australia. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa berbeda lagi. Dia bilang, pemberian grasi murni masalah hukum. Penjelasan tentang perbedaan substansi, bukan cara penyampaian, pertimbangan pemberian grasi oleh tiga menteri tersebut bukan rumor. Namun, penjelasan publik yang disampaikan secara terbuka melalui media. Tentulah tidak masuk akal jika sebuah kebijakan pemerintah dari institusi yang sama, bahkan dari satu pejabat negara yang sama, yakni presiden, mempunyai alasan berbeda-beda dalam hal substansi ketika disampaikan oleh pejabat pembantu presiden yang berbeda-beda. Pertanyaan logisnya adalah: apakah tidak ada koordinasi? Kalau tidak ada koordinasi, apa yang dilakukan presiden sebagai “bos” mereka. Bukankah para menteri merupakan pembantu presiden yang seharusnya ada dalam koordinasinya. Tapi perbedaan semacam itu bisa masuk akal jika dilihat sebagai upaya mengaburkan persoalan atau menyembunyikan alasan sesungguhnya di balik sebuah keputusan publik. Namun, apa tujuan dari tindakan semacam itu? Lepas dari hal itu, cobalah perhatikan argumen yang disampaikan Mensesneg. Soal grasi yang dikatakannya merupakan sistem hukum yang sah di negeri ini. Bangsa ini menyetujui itu seratus persen. Dan hak itu dijamin (UUD 45). Memberikan grasi adalah salah satu hak prerogatif presiden, selain amnesti dan abolisi. Tapi, Mensesneg memelintirnya. Ia ingin membengkokkan logika publik. Yang dipersoalkan publik bukan grasinya. Tapi, grasi untuk pelaku kejahatan narkoba. Bukankah, presiden Yudhoyono sendiri sudah mengatakannya secara publik bahwa tidak ada grasi untuk pelaku kejahatan narkoba. Penjelasan Sudi bahwa pemberian grasi kepada Corby bukan berarti memberikan toleransi kepada kejahatan narkoba, juga tidak bisa diterima akal sehat. Lalu, Sudi menyebut bahwa keputusan itu juga atas pertimbangan Mahkamah Agung. Ya, perlu dicatat bahwa MA memang memberikan pertimbangan hukum. Pertanyaannya adalah: siapa eksekutor yang akan menggunakan atau tidak memakai pertimbangan tersebut? Bukankah hal itu ada pada presiden (Yudhoyono)? Namun, bukankah Presiden Yudhoyono, sebagai kepala negara, sudah berjanji secara terbuka tidak akan memberikan grasi untuk pelaku kejahatan narkoba, termasuk Corby, “sejak Indonesia berdiri sampai saat ini dan saat-saat mendatang?” Alasan kemanusiaan? Yang mana? Memang, disebut-sebut Corby sakit-sakitan. Tapi benarkah demikian? Dia pernah dikabarkan sakit dan harus menjalani perawatan di Rumah Sakit Sanglah, Denpasar. Faktanya, dia pergi ke salon kecantikan bernama Gradenia di kawasan RS Sanglah. Di salon ini dia habiskan waktu hingga tiga jam, untuk perawatan kuku kaki dan catok rambut yang menghabiskan biaya Rp 60 ribu. Dia memang dikawal dua polisi berseragam dan bersenjata (Inilah.com, 2/7/2008). Kalaupun benar Corby sakit-sakitan, mana yang lebih penting menjadi bahan pertimbangan presiden dalam memutuskan: seorang penjahat narkotika, ataukah menyelamatkan berjuta-juta warga negara Indonesia yang menjadi korban dan terancam kejahatan narkotika? Lantas bagaimana dengan penjelasan Menkumham, yang menyebutkan alasan diplomasi demi dilepasnya WNI yang menjadi tahanan di Australia? Sederhananya, Corby diampuni, sejumlah WNI dibebaskan. Transaksi. Pihak Australia, melalui Dubesnya, di depan Wakil Ketua DPR RI menyatakan tak benar bahwa grasi sebagai barter atas narapidana WNI. Kebijakan Australia yang akan melepaskan 49 anak nelayan dan sekitar 410 WNI tidak terkait dengan grasi Corbi. Pembebasan anak-anak WNI, menurut pengamat hukum internasional, Hikmahanto Juwono, bukan karena deal dengan pemerintah Indonesia, apalagi terkait grasi Corby. Ini karena faktor internal, yaitu desakan publik Australia. Publik Australia beranggapan penahan WNI di bawah umur hanya menjadi beban negara. Selain itu, juga karena alasan ketersediaan tahanan khusus anak di bawah umur. Di Australia, penjara khusus anak hanya terletak di pusat. Padahal, kebanyakan tahanan anak di bawah umur mendekam di Australia “pesisir” yang tidak memiliki fasilitas itu. Dan yang penting lagi, mereka bukan penjahat narkoba, melainkan penyelundup imigran (Koran Tempo, 21/6/12). Pemerintah pun, antara lain melalui Wamenkumkam seolah “ngotot” bahwa grasi bisa menjadi bagain diplomasi. Wamenkumkam dalam sebuah acara televisi mengemukakan, diplomasi bisa menyelamatkan sejumlah WNI yang terancam hukuman mati di Timur Tengah juga Malaysia. Tapi, Wamenkumkam rupanya lupa menambahkan catatan, bahwa mereka bukan penjahat narkotika! Kesimpangsiuran semacam itu jelas menimbulkan kecurigaan publik dan membuat publik menduga-duga bahwa ada tujuan atau kepentingan “tersembunyi” di balik “jasa Presiden Yudhoyono terhadap Penjahat Narkoba”. Bisa saja kepentingan bilateral, kepentingan sepihak Australia (sebagai sebuah kekuatan besar), atau jangan-jangan ada kepentingan mafia narkotika internasional? Lantas, apa sesungguhnya latar belakang pemberian grasi bagi Corby yang memicu protes bahkan hingga gugatan ke PTUN pada 20 Juni 2012 (Koran Tempo, 21/6/2012)? Presiden memang didesak sejumlah pihak untuk menjelaskan alasan keputusannya. Namun, agaknya keputusan tersebut diabaikan. Di sisi lain, sejauh ini media memang belum atau tidak mencoba menginvestigasi latarbelakang pemberian grasi Corby. Dari media, publik hanya mendapatkan penjelasan sepotong-sepotong seperti di atas, kemudian kontroversi yang muncul mengikuti kasus tersebut. Media juga kurang membangun penalaran publik tatkala melaporkan penjelasan dari para pembantu presiden. Tanpa disertai informasi yang argumentatif dan kritis, maka tak menutup kemungkinan penjelasan para menteri (yang sesungguhnya berbeda-beda) dianggap benar oleh sebagian masyarakat. Begitu juga berita yang hanya menghadirkan kontroversi, tidak memberikan manfaat bagi publik untuk mengkritisi kebijakan pemerintah, dalam hal ini presiden. Di sinilah sesungguhnya peran media sangat diharapkan, yaitu memenuhi hak publik untuk mengetahui. Media tidak bisa dipersalahkan jika menginvestigasi hal itu, sebab ia mewakili publik, warga negara, yang menurut B Guy Peters (dalam Haryatmoko, Etik Publik: 2011) memiliki hak untuk mengetahui tindakan pemerintah karena kekuasaan (yang dimiliki pemerintah, presiden) itu mandat rakyat. Jika dilihat dari aspek legal pun, menurut Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU No 14/2008) informasi tentang latar belakang grasi Corby tidak termasuk dalam kategori yang dikecualikan. Ini informasi yang boleh diakses publik, yang dalam hal ini diwakili media massa. Dalam konteks ini, media akan bisa membantu menunjukkan kepada publik juga kepada presiden dan menteri-menterinya bahwa bukannya grasi yang dipersoalkan, melainkan grasi kepada pelaku kejahatan narkoba. Ketua Mahkamah Konstitusi, Machfud MD, tegas menyatakan secara konstitusi presiden memang berhak memberikan grasi kepada narapidana yang mengajukan kepadanya. Tetapi, tetap harus mempertimbangkan banyak hal. Selain soal hukum dan moral, presiden juga harus mempertimbangkan masalah keselamatan bangsa. “Komitmen kita, kejahatan narkoba menjadi slaah satu kejahatan besar yang harus mendapat hukuman berat. Kejahatan narkoba itu lebih jahat dari korupsi dan terorisme. Kalau korupsi dan terorisme begitu dihukum mati selesai orangnya mati, kalau narkoba itu kejahatan yang membunuh kehidupan. Dia tidak hanya membunuh hidup orang, tapi kehidupan dan juga bisa bersambung dari generasi ke generasi dan dari satu orang ke orang lain,”ujarnya.(*) *Penulis, Jurnalis
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: