Ternyata Kota Cirebon Sejak Dulu Terkenal Kumuh, Koran Hindia Belanda Sebut Distrik Cangkol Tak Layak Huni

Ternyata Kota Cirebon Sejak Dulu Terkenal Kumuh, Koran Hindia Belanda Sebut Distrik Cangkol Tak Layak Huni

Kota Cirebon dikenal kumuh sejak zaman Hindia Belanda, bahkan terekam dalam pemberitaan koran ketika itu. Foto di Bedeng Gunungsari, Kelurahan Pekiringan, Kecamatan Kesambi.-Yuda Sanjaya-radarcirebon.com

RADARCIREBON.COM - Mengatasi kekumuhan menjadi salah satu pekerjaan rumah paling berat bagi Walikota Cirebon mendatang. Sebab, kota ini sejak zaman Belanda sudah terkenal dengan kekumuhannya.

Bahkan ada satu distrik di kota pinggir pantai utara Jawa ini, disebut oleh koran berbahasa Belanda sebagai tempat yang tidak layak huni, pengap dan tidak manusiawi.

Distrik yang digambarkan kumuh dan kotor oleh koran Belanda itu adalah Cangkol. Distrik ini berada persis di bibir pantai Laut Jawa.

Koran ini, juga banyak mengulas tentang wabah yang sering menjangkiti kota yang sudah dikenal sejak abad ke-15 ini.

BACA JUGA:Momen Pelaku Pembunuhan di Kedawung Cirebon Datang ke Kosan Korban, Terekam CCTV, Lihat!

Adalah Tjirbonniana, salah satu surat kabar Hindia Belanda yang mengungkap tentang kekumuhan Kota Cirebon pada abad ke-19.

Pada edisi 12 September 1925, kontributor koran Nederlands Indie ini mengulas secara gamblang tentang kumuhnya wilayah yang sekarang berjuluk Kota Wali ini.

Akibat kekumuhan yang berlangsung lama, koran tersebut menyebutkan jika kota yang miliki banyak keraton ini, juga mengakibatkan penduduknya terserang penyakit kolera.

Pada tahun 1925, pada umumnya warga yang tinggal di sekitar Cangkol, juga tidak memiliki persediaan air minum yang cukup. Hanya beberapa warga saja yang memiliki persediaan air.

BACA JUGA:Keputusan Nasdem: Eti Calon Walikota Cirebon, Tinggal Cari Wakilnya

Mereka yang memiliki cadangan yang cukup adalah para pemuka masyaratak setempat dan orang-orang Eropa.

Selain itu, juga warga Tionghoa dan keturunan Arab yang di rumah mereka ada tempat untuk persediaan air.

Di rumah-rumah mereka sudah memiliki martavan. Yang merupakan wadah dari batu bata yang digunakan untuk menampung air hujan.

Surat kabar tersebut juga menggambarkan, di sekitar distrik atau semacam perkampungan kumuh itu, saat air laut surut, banyak tumpukan lumpur.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: