Golput Tak Pengaruhi Hasil Pemilu

Golput Tak Pengaruhi Hasil Pemilu

JAKARTA- Berapapun besarnya jumlah golput (golongan putih) atau orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2014, tidak akan mempengaruhi hasil pemilu. Bahkan, jika golput sampai menembus angka 50 persen sekalipun, pemilu yang bakal digelar 9 April nanti tetap sah. “Kalaupun golput tetap mayoritas juga pemilu tetap sah. Jadi tidak benar jika ada pendapat yang mengatakan jika angka sangat besar maka hasil Pemilu 2014 menjadi tidak sah. Tidak ada aturan itu dalam undang-undang kita,” ujar Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahuddin, Rabu (26/02). Menurut Said, kalau ada pihak yang menggunakan rujukan pasal 232 ayat (3) UU 8/2012 tentang Pemilu, untuk membenarkan golput itu pun jelas keliru. Karena, pasal itu masuk dalam pembahasan BAB XVII tentang Pemilu Lanjutan dan Pemilu Susulan. “Jadi pemilu lanjutan itu adalah pemilu untuk melanjutkan tahapan yang terhenti dan/atau tahapan yang belum dilaksanakan, sedangkan Pemilu Susulan adalah pemilu untuk melaksanakan semua tahapan yang tidak dapat dilaksanakan,” tuturnya. Pemilu lanjutan dan pemilu susulan, kata Said, hanya bisa dilakukan jika sebagian atau seluruh daerah pemilihan mengalami bencana alam, gangguan keamanan, atau gangguan lainnya. “Manakala kondisi force majeure itu menyebabkan 50 persen pemilih secara nasional yang terdaftar di DPT tidak bisa menggunakan hak memilih, maka di situlah terbuka peluang diadakan Pemilu Lanjutan atau Pemilu Susulan yang ditetapkan oleh Presiden berdasarkan usul KPU,” paparnya. Selain itu, Pasal 232 ayat (3) UU Pemilu tidak mengatur soal golput dalam artian orang yang tidak terdaftar dalam DPT. “Saya pikir bukan itu. Apalagi kalau dikatakan angka golput 50 persen maka hasil pemilu menjadi tidak sah. Saya kira tidak demikian. Itu jelas pemikiran yang keliru,” terangnya. Said juga memaparkan, sistem hukum di Indonesia memang memungkinkan angka golput menjadi sangat tinggi, namun hal itu sama sekali tidak menyebabkan hasil pemilu menjadi tidak sah. “Hasil Pemilu tetap memiliki legalitas, tetapi pada derajat tertentu dapat kita katakan eksekutif atau legislatif terpilih hasil Pemilu itu kurang memiliki legitimasi,” terangnya. Namun, lebih lanjut Said juga menyayangkan kinerja KPU yang kurang optimal menyosialisasikan pemilu. Bahkan, kali ini KPU sepertinya ingin menggolputkan kaum tunanetra yang hak pilih dan memilihnya dilindungi oleh kosntitusi. Hal ini lantaran , KPU telah sepihak menetapkan keputusan terkait peniadaan penggunaan alat bantu berupa template braille untuk pemilih tunanetra di Pemilu Legislatif 9 April mendatang. “Keberadaan template braille menjadi sarana bagi kaum tuna netra untuk menyalurkan aspirasi politik. Jadi penghapusan penggunaan alat bantu surat suara braile tersebut, sama saja mengaskan bahwa KPU telah melakukan diskriminasi dan menunjukkan ketidakmampuannya dalam menyelenggarakan Pemilu. Padahal, alat bantu itu sebenarnya sudah ada sejak beberapa kali pemilu sebelumnya,” tandas Said. Said juga menilai, keputusan KPU terkait penyediaan pendamping bagi pemilih tuna netra jelas sangat bertentangan dengan azaz langsung, umum, bebas dan rahasia dalam Pemilu. “Seharusnya setiap warga negara, termasuk penyandang disabilitas mempunyai hak yang sama dalam berpartisipasi di politik. Saya heran juga pada padahal sebelumnya sudah ada,” tandasnya. Seperti yang sudah diberitakan sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya menyediakan template braille untuk surat suara Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bagi penyandang tuna netra pada Pemilu mendatang. Sementara itu, tak ada template braille untuk surat suara DPR dan DPRD. KPU mengaku akan menyediakan jasa pendamping untuk penyandang disabilitas. Karena itu, adanya pendamping dikhawatirkan akan menggiring pemilih tunanetra untuk memilih caleg atau parpol tertentu. (dms)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: