Sungai atau Drainase?
Kawasan bantaran Sukalila belakangan menyajikan serangkaian perdebatan. Selain persoalan Pasar Mambo yang kontraknya diputus Pemerintah Kota Cirebon, perdebatan lain timbul seputar status Sungai Sukalila yang dipertanyakan. Apakah aliran air dengan lebar kurang lebih 10 meter yang bermuara di Laut Cirebon tersebut layak disebut sungai? Atau, jangan-jangan saluran Sukalila memang hanya sebuah drainase primer. PERDEBATAN yang kedua, tidak kalah penting. Soalnya, perbedaan status apakah saluran Sukalila layak disebut sungai atau hanya sebatas drainase primer, akan berimbas pada penerapan aturan. Kalau benar sungai, artinya aturan mengenai sempadan sungai bisa diterapkan. Tapi, kalau hanya sistem drainase primer tentu saja aturan mengenai sempadan sungai tidak relevan kalau diterapkan. Kepala Bidang Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum Perumahan Energi dan Sumber Daya Mineral (DPUPESDM), Ir Nasrun Mansyur, berpendapat kalau Sungai Sukalila secara definisi memang tidak bisa disebut sungai. Lebih tepatnya saluran air meski memang ukurannya cukup besar. ”Menurut informasi dari BBWSCC (Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk Cisanggarung), katanya itu cuma drainase primer untuk wilayah Kota Cirebon. Jadi, memang benar itu bukan sungai,” tuturnya. Dijelaskan, saat ini sistem drainase Sukalila menjadi tumpuan untuk mengalirkan air hujan ataupun limbah dari saluran-saluran dan sungai yang mengalir di wilayah kota. Tapi, soal penerapan aturan pihaknya menilai penerapannya tidak bisa saklek. Sebab, meski Perda Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengenai sempadan sungai tidak bisa diterapkan tetapi ada pertimbangan lain mengapa bantaran Sukalila mesti bebas dari utilitas. Pertimbangan itu diantaranya adalah besarnya saluran yang membutuhkan ruang terbuka untuk manuver saat dilakukannya perawatan. Saat ini sebagian besar saluran Sukalila tertutup berbagai utilitas, bahkan pada beberapa bagian lebar saluran terkurangi dengan bangunan. ”Itu kan saluran besar, kalau sempadannya kecil ya lucu. Aturan memang tidak bisa diterapkan, tapi kita juga nggak bisa saklek. Lihat fungsinya saluran Sukalila,” ucap dia. Pengamat Kebijakan Publik, Irsyad Sidik SH sepaham dengan Nasrun. Pihaknya menilai telah terjadi salah persepsi mengenai penyebutan Sungai Sukalila. Sebab, bila dilihat dari definisi, maka Sungai Sukalila tidak tepat disebut sungai. Lebih tepatnya adalah saluran air atau kanal seperti halnya Kanal Cipadu dan Banjir Kanal, hanya saja saluran air-nya memang memiliki volume yang cukup besar. “Kalau disebut selokan memang terlalu besar, tapi kalau dilihat dari definisinya, Sungai Sukalila itu bukan sungai. Mungkin lebih tepatnya hanya saluran air saja,” ujar dia, saat ditemui di ruang kerjanya, belum lama ini. Tapi Irsyad punya pandangan sendiri soal penerapan aturan pada bantaran Sukalila. Menurut dia, pendefinisian Sukalila sebagai sungai atau saluran air sangat penting, sebab akan berpengaruh pada kebijakan yang akan dibuatnya. Bila saluran air yang melintasi kawasan Sukalila itu adalah sungai, maka relevan untuk diterapkannya peraturan daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat ataupun aturan lain mengenai kawasan bantaran sungai. Tapi, kalau ternyata saluran air tersebut tidak tepat untuk didefinisikan sebagai sungai, maka aturan mengenai kawasan bantaran sungai tidak berlaku. “Kalau menurut saya itu bukan sungai, nggak masuk definisi sungai. Sungai itu ada hulunya, coba tunjukkan sama saya Sungai Sukalila itu hulunya di mana?” tandasnya. Irsyad menjelaskan, terbentuknya saluran air Sukalila adalah buah dari kebijakan Pemerintah Kota Cirebon sekitar tahun 1980-an untuk solusi banjir di kawasan Gunungsari, Sukasari, dan sebagian Jl RA Kartini. Aliran sungai yang mengarah ke kawasan tersebut dan seringkali meluap kemudian dibuat sodetan yang kemudian dialirkan ke banjir kanal dan terjadilan saluran air Sukalila. Kaitannya dengan Pasar Mambo, penerapan Perda Pemprov Jabar mengenai kawasan bantaran sungai atau atauran apapun menjadi tidak relevan, karena kawasan bantaran yang ditempati pedagang bukan bantaran sungai. Dan bila diperhatikan dari kinerjanya, saluran air Sukalila tidak dalam kondisi aktif mengalir karena sifatnya yang memang hanya saluran air. “Pemkot harus membuat ketetapan dulu, Sukalila itu sungai atau bukan. Jangan sampai keputusan yang dibuat malah nantinya salah,” pintanya. Perdebatan pun berlanjut. Apakah sebenarnya Sukalila itu, sungai atau drainase? Dalam persoalan ini, aktivis Pelestarian Pusaka, Mustaqim Asteja berpendapat jalan tengah adalah alam tetap lestari dan pedagang tetap bisa beraktivitas. “Sederhananya alam lestari dapur ngebul lah ya,” ujarnya. Soal Sukalila itu drainase atau sungai, Mustaqim menjelaskan Cirebon dalam perkembangannya sangat didukung dan dipengaruhi oleh keberadaan sungai-sungai di sekitarnya seperti Sungai (kali) Suba, Sungai Bacin, dan Sungai Sukalila sebagai sarana transformasi penghubung daerah pedalaman Cirebon. “Keberadaan dan fungsi Sukalila pada awal perkembangan Kota Cirebon sebenarnya adalah sungai yang menjadi urat nadi Kota Cirebon,” terangnya kepada koran ini ditemui di Sekretariat Kendi Pertula Gedung Negara Cirebon. Menurut Mustaqim Sungai Sukalila adalah saksi sejarah perkembangan Kota Cirebon tempo dulu. Sungai ini membentang dari arah barat ke timur memotong kota Cirebon sepanjang pesisir utara. Berdasarkan Arsip Rancanan Tata Ruang Wilayah Cirebon Jaman VOC tahun 1690 Sungai Sukalila telah ada, hanya keberadaan Sungai Sukalila dulu dan sekarang berbeda. Sungai Sukalila sekarang telah diluruskan oleh pemerintah Belanda, Sungai ini mengalir sepanjang Jalan Sukalila Utara–Sukalila Selatan melintas Jembatan Pasar Pagi lurus ke Jalan Kalibaru Utara–Kalibaru Selatan dan bermuara ke teluk Cirebon dekat pintu pelabuhan III. “Sungai Sukalila merupakan pertemuan beberapa anak sungai yaitu Sungai Cimanggu, Sungai Sijarak, Sungai Kemlaka dan saluran dari Tangkil menyatu menjadi Sungai Sukalila. Nama itu mengacu pada legenda Syekh Magelung Sakti yang konon ikhlas rambutnya di potong oleh Sunan Gunung Jati disekitar Sungai Sukalila (Karanggetas). Sungai Sukalila, kata dia, mengalir dari Jembatan Jalan KS Tubun (Jl. Pamitran) menuju sepanjang Jl Sukalila Selatan (Jl. Sukalila Utara tempat Pasar Mambo di tahun 1930-an belum ada) melintas Jembatan Pasar Pagi terus sepajang Jl Kalibaru Utara–Kalibaru Selatan bermuara ke laut. Sungai dari jembatan Pasar pagi sampai ke laut disebut Kali Baru atau Kali Anyar karena sengaja dibuat belakangan untuk menantisipasi banjir di Cirebon. Pada dasawarsa akhir abad 17 (tahun 1690). Sungai Sukalila mengalir berkelok dari setelah jembatan Pasar Pagi berbelok ke kanan sepanjang Jl Karanggetas (Krakatas Wegh) sekarang memotong melintasi beberapa Jalan dan kampung (Jl Kali Baru Selatan–Jl Bahagia–Sekitar kampung Panjunan-Sampai bermuara ke Pabean (Komplek Jl Benteng dan Pelabuhan Cirebon). Diperkirakan disekitar kampung Panjunan (Sekarang Cirebon Mall) sebelum bermuara ke Pabean (Pelabuhan atau Benteng De Beschermingh) Kali Sukalila menyatu dengan Kali Bacin membentuk Kali Cirbon (Cirbon Revier) yang mengalir di samping Benteng De Beschermingh (Sekarang Penjara dan Pelabuhan Cirebon) bermuara ke laut. “Dalam arsip foto KITLV Leiden terdapat tiga buah foto yang mengambarkan aktivitas di sekitar Sungai Kali Anjar (kali baru) di tahun 1910 disana terdapat pedagang dan para nelayan masih menambatkan perahunya di bantaran sungai,” terang Ketua Komunitas Pusaka Cirebon Kendi Pertula ini. Dari penjelasan ini, jelas Mustaqim, bahwa Sungai Sukalila pada masanya mempunyai kontribusi besar bagi sejarah perkembangan dan perdaganan Kota Cirebon dan bukan sekadar drainase. Sehingga kebersihan Sungai Sukalila dan dapur pedagang Pasar mambo tetap ngebul sama pentingnya. Yang terpenting adalah mewujudkan Kali Sukalila agar tetap bersih dan tidak bau menyengat serta kelestarian lingkungan hidup adalah di atas segalanya. Karena itu, pemerintah Kota Cirebon dan unsur terkait dengan masalah ini harus segera membuat kebijakan tepat yang pro masyarakat dan melestarikan lingkungan hidup agar anak cucu kita kelak tidak sengsara. “Kawasan sepanjang Kali Sukalila sampai Kalibaru sampai ke muaranya sebetulnya dapat ditata dan dikembangkan sebagai Kawasan Pusaka (Heritage Distric) untuk kepentingan Wisata Bahari karena Cirebon adalah awalnya Nagari Bahari. Lestarkanlah Pusaka Cirebon,” bebernya. (yuda sanjaya/suhendrik)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: