Menyingkap Akar Politik Paternalistik di Indonesia: Sebuah Tantangan Bagi Demokrasi
Antonius Benny Susetyo--
Namun, pada prakteknya, hingga periode kedua, kita melihat banyak posisi penting yang diisi oleh orang-orang yang itu-itu saja, bahkan ada menteri yang memegang banyak jabatan sekaligus.
BACA JUGA:Indeks Bisnis UMKM BRI Triwulan II 2024: Bisnis UMKM Mulai Membaik dan Prospektif
BACA JUGA:Setelah Puluhan Warem Goa Macan Palimanan Barat Dibongkar, Begini Harapan Warga
Menurut Immanuel Kant, etika adalah kewajiban untuk menjalankan yang baik dan menghindarkan yang buruk.
Orang yang memiliki etika tahu apa yang pantas dan layak untuk dilakukan. Dalam konteks ini, kita harus membangun ekosistem etika dalam penyelenggaraan negara.
Etika harus menjadi standar moral yang dipegang teguh oleh para pemimpin. Pelanggaran etis harus mendapatkan sanksi yang berat, baik sanksi sosial maupun sanksi pada dirinya sendiri.
Lembaga etik penting untuk menegakkan standar moral, tidak hanya untuk penyelenggara negara tetapi juga presiden.
Kepala negara harus menjadi role model dalam hal etika, sehingga tidak memanipulasi hukum untuk kepentingan kerabatnya atau orang-orang dekatnya.
Sistem nilai yang objektif harus dibangun, sehingga seseorang mengikuti merit sistem berdasarkan rekam jejak dan profesionalisme, bukan karena hubungan atau kedekatan.
Paternalistik, meskipun seringkali dianggap negatif, sebenarnya netral. Ia baru menjadi masalah ketika hukum dan etika tidak diindahkan.
Pada masyarakat paternalistik, etika dan moral masih memainkan peran penting. Seorang raja, misalnya, harus adil dan bijaksana. Jika tidak, ia akan kehilangan penghormatan dari rakyatnya.
Dalam konteks modern, seorang pemimpin harus memiliki kesadaran dan kontrol diri yang tinggi untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan.
Dalam masyarakat tradisional, ada mekanisme protes yang halus namun efektif seperti "pepe" dalam budaya Jawa. Ketika rakyat diam dalam terik matahari sebagai bentuk protes, pemimpin yang bijak harus mampu menangkap sinyal tersebut dan merespons dengan bijaksana.
Integritas dan profesionalitas harus menjadi etos kerja penyelenggara negara. Jika integritas hilang, maka hukum tidak akan memberikan efek jera.
Lingkungan yang toksik atau kebobrokan moral bisa menjadi penyebab utama hilangnya integritas. Kita membutuhkan pemimpin yang dapat menjaga kehormatannya dan tidak menyimpang dari apa yang dikatakan dan dilakukan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: