Menyingkap Akar Politik Paternalistik di Indonesia: Sebuah Tantangan Bagi Demokrasi

Menyingkap Akar Politik Paternalistik di Indonesia: Sebuah Tantangan Bagi Demokrasi

Antonius Benny Susetyo--

Oleh: Antonius Benny Susetyo

INDONESIA adalah negara yang kaya akan budaya dan tradisi. Negara Pancasila berakar dari budaya adiluhur bangsa, yang mencakup gotong-royong, kekeluargaan, dan toleransi. 

Nilai-nilai ini menjadi fondasi yang kuat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, kita harus waspada agar tidak menyalahgunakan nilai-nilai ini untuk tujuan yang tidak mulia. 

Gotong royong tidak boleh digunakan untuk melakukan penyelewengan, nepotisme tidak boleh dilakukan atas nama kekeluargaan, dan pelanggaran tidak boleh ditoleransi. 

Kita harus membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang sudah biasa. Politik paternalistik adalah model kepemimpinan yang mengakar kuat dalam masyarakat kita. 

Dalam model ini, pemimpin dianggap sebagai figur yang harus dihormati dan memiliki kewenangan yang luas. Terdapat perbedaan kelas yang jelas antara pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya. 

Pemimpin sering kali diperlakukan bak raja, yang semua ucapannya harus diikuti tanpa ada ruang untuk perdebatan atau kritik. 

BACA JUGA:Kebakaran di Kota Cirebon, Bengkel Tambal Ban Hangus Dilalap Api

BACA JUGA:Tinggalkan Pekerjaan, Wawan Pilih Merawat Anak yang Sakit Kanker Langka

Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya "How Democracies Die" mengingatkan kita bahwa demokrasi bisa mati bukan hanya oleh kekuatan massa atau kekerasan yang menggulingkan suatu pemerintahan dengan menggunakan tirani otoriter. 

Demokrasi bisa mati ketika institusi kelembagaan dan negara yang menegakkan hukum dan aturan dikuasai oleh satu tangan. 

Demokrasi bisa mati oleh para demokrat itu sendiri ketika mereka tidak lagi setia pada prinsip-prinsip demokrasi dan tidak mampu mengolah demokrasi dengan kewarasan. Salah satu cara untuk mencabik politik paternalistik adalah dengan menerapkan meritokrasi. 

Meritokrasi adalah sistem di mana individu diberi kesempatan dan posisi berdasarkan kemampuan dan prestasi, bukan berdasarkan hubungan kekeluargaan atau kedekatan dengan kekuasaan. 

Presiden Jokowi pernah menggagas kabinet yang berbasis pada meritokrasi, dengan memilih menteri-menteri yang ahli di bidangnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: