Pemilik Batalkan Penjualan Teja Suar, MUI Mendukung, Pembeli Lapor Polisi

Pemilik Batalkan Penjualan Teja Suar, MUI Mendukung, Pembeli Lapor Polisi

CIREBON - Merasa difitnah oleh H Maulwi Saelan (penjual tanah yang di atasnya berdiri Masjid Teja Suar), karena dianggap sebagai preman dan mengerahkan preman, pembeli tanah Masjid Teja Suar, Ade Berliana Zulkifly (ABZ), melaporkan Saelan ke Polres Cirebon Kota. ABZ melapor ke Polres Ciko tertanggal 3 Maret 2014. Kepada wartawan, Ade mengungkapkan alasan kenapa dirinya melaporkan Saelan ke kepolisian. Selain merasa difitnah karena dianggap preman dan mengerahkan preman, Ade juga merasa dicemarkan karena merasa diisukan sebagai non muslim. Padahal, dirinya bukanlah non muslim. Justru sejak kecil dirinya terlahir sebagai seorang muslim dan sudah menjadi orang Cirebon sejak 15 tahun lalu. Tidak hanya itu, dirinya bukanlah preman yang selama ini dituduhkan. Kalau memang dirinya preman, tentu saat muncul berita Teja Suar bertindak layaknya preman, tapi hal itu tidak dia lakukan karena memang bukan seorang preman. Termasuk tudingan dirinya mengerahkan preman, padahal selama ini tidak pernah merasa mengerahkan preman terkait dengan persoalan Teja Suar. Tidak hanya itu, Ade juga merasa bingung dengan sikap H Saelan yang secara sepihak membatalkan penjualan tanah yang di atasnya berdiri Masjid Teja Suar, padahal proses jual beli sudah berlangsung dan semua prosesnya sudah selesai, termasuk sertifikat tanah seluas 3.000 meter atas nama Tjitjih Wasih Saelan, sudah beralih nama Ade Berliana Zulkifly, dengan 4 sertifikat tanah. “Saya juga bingung kok jadi begini urusannya. Saya harus mengklarifikasi karena saya selaku pembeli dan kini menjadi pemilik sah tanah dan bangunan tersebut. Saya merasa dipojokkan dan hak saya dihalangi oleh pihak lain,” kata Ade kepada awak media saat jumpa pers di sebuah rumah makan di Cirebon, kemarin. Disinggung perihal tudingan dirinya memalsukan tanda tangan H Saelan, Ade langsung membantahnya. Dia tidak merasa melakukan pemalsuan tanda tangan perihal pajak, karena pajak semuanya urusan H Saelan selaku penjual. Pengusaha batubara ini bahkan membeberkan proses awal hingga akhir transaksi, termasuk membangun masjid sebagai bentuk kompensasi Masjid Teja Suar di belakang komplek tanah yang sudah dijual H Saelan. Sekitar akhir September 2013 dirinya didatangi oleh dua orang mengatasnamakan H Saelan yakni Edi dan Arnold. Mereka berdua menawarkan sebidang tanah di jalan Tuparev seluas 3 ribu meter. Awalnya sempat ragu untuk membelinya karena di atas tanah tersebut berdiri Masjid Teja Suar. Sebagai muslim yang awam dirinya sempat mempertanyakan apakah boleh membeli tanah yang di atasnya berdiri masjid. Kemudian dalam beberapa kali pertemuan sejak awal Oktober hingga awal Nopember 2013, dirinya berhasil diyakinkan H Saelan beserta penasehatnya bahwa proses penjualan tanah Teja Suar ini tidak akan ada masalah karena milik pribadi, dan belum diwakafkan. Bahkan saat itu, H Saelan menunjukkan surat rekomendasi dari Imam besar Masjid Istiqlal Jakarta KH Ali Mustafa Yakub yang menyatakan tanah dan bangunan yang belum diwakafkan, boleh dijual pemiliknya. Atas dasar itulah, Ade semakin yakin, apalagi H Saelan termasuk tokoh pendidikan Al Azhar yang mengerti betul tentang agama Islam. Singkat cerita, kata Ade, pihaknya bersedia membeli tanah Teja Suar dengan pembayaran secara bertahap selama dua tahap, yakni tanggal 3 Nopember 2013. H Saelan selaku penjual dan saya sebagai pembeli menandatangani pengikatan perjanjian jual beli (PPAJB), dan dikuatkan dengan proses final AJB (akta jual beli) pada tanggal 9 Nopember 2013. “Proses jual beli dan peralihan nama telah diproses mulai tingkat notaris, pejabat pembuat akta tanah serta BPN. Dengan demikian, Teja Suar sudah sah menjadi milik saya. Bahkan H Saelan saat itu sama sekali tidak keberatan,” bebernya. Kemudian tanggal 27 Nopember 2013, H Saelan membuat surat klarifikasi yang dikirimkan ke sejumlah pihak yang menegaskan Masjid Teja Suar tidak pernah dijual. H Saelan hanya berniat menggeser posisi masjid ke atas tanah lain yang berjarak 20 meter dari lokasi semula. Dan yang perlu digarisbawahi, pembangunan masjid baru ini adalah kewajiban pihak penjual bukan pihak pembeli. Artinya secara hukum fiqih, Ade sebenarnya tidak mempunyai kewajiban untuk membuat masjid pengganti. Tapi, sebagai muslim, Ade ingin memberi sumbangsih pembuatan masjid pengganti. Kemudian tanggal 26 Nopember 2013, dirinya membeli tanah seluas 400 meter di jalan Cempaka (belakang komplek masjid Teja Suar) untuk pengganti masjid Teja Suar. Bahkan tanah yang sudah Ade beli ini langsung dibuatkan sertifikat atas nama H Saelan. Bahkan, dirinyta menyetor uang ke rekening bersama H Saelan sebanyak Rp800 juta untuk biaya pembangunan masjid pengganti, dan itu uang dari Ade. Mulai 23 Desember 2013 pembangunan masjid pengganti dimulai. Semua menjadi berubah tiba-tiba tanggal 15 Januari 2014, H Saelan melalui sejumlah utusannya justru meminta kontraktor untuk menghentikan proyek pembangunan dengan alasan desain dan ukuran masjid pengganti tidak sesuai dengan kesepakatan, dan H Saelan tidak mau mencairkan uang di rekening bersama. “Titik inilah yang membuat Ade bingung. Selain menghentikan pembangunan masjid pengganti, saya mendengar H Saelan berkeinginan membatalkan akta jual beli tanah Teja Suar. Saya merasa ada sesuatu yang janggal, niat baik untuk membantu pembangunan masjid pengganti malah dihalang-halangi, dan posisinya sebagai pemilik baru tanah Teja Suar seolah-olah digantung,” protes pengusaha batubara ini. Munculnya persoalan ini, 27 Januari 2014 Ade Berliana konsultasi ke sejumlah ulama yang kemudian membahas dalam forum bahtsul Masail. Hasil forum itu ada tiga poin, yakni hukumnya membolehkan memindahkan Masjid Teja Suar ke lokasi yang baru, pembangunan masjid pengganti segera diselesaikan, segera urus surat wakaf masjid baru ke instansi terkait. Pada 30 Januari 2014 konsultasi ke MUI Kabupaten Cirebon. Dari pertemuan itu kesimpulannya , dirinya sebagai pembeli menyatakan sah memiliki tanah Teja Suar karena akta jual beli sudah ditandatangani kedua abelah pihak. H Saelan sebagai penjual melakukan kesalahan jika membatalkan transaksi yang sudah sah, H Saelan berkewajiban membuat masjid pengganti. Terpisah, Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Cirebon, Drs H Muslim Muchlas mengaku sudah mendengar pembatalan penjualan Masjid Teja Suar oleh H Saelan. Kalau memang demikian, MUI Kota Cirebon mendukung penuh langkah H Saelan. Karena bagaimanapun, masjid ini punya nilai sejarah dan menjadi sejarah di Cirebon. Bagaimanapun juga masjid ini sudah menjadi milik umat, meski masih punya pribadi. Karenanya, wajar jika umat bereaksi dan menolak apabila Masjid Teja Suar dijual. “MUI Kota Cirebon mendukung penuh langkah H Saelan yang membatalkan penjualan Masjid Teja Suar,” kata Muslim. (abd)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: