Karcis Mubazir Biang Kebocoran

Karcis Mubazir Biang Kebocoran

KEJAKSAN - Komisi B kembali mengungkapkan temuannya mengenai kasus parkir badan jalan. Kali ini, masalah sistem karcis yang disoroti para wakil rakyat. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Kelompok Kerja Parkir, tingginya kebocoran retribusi parkir badan jalan disebabkan tidak efektifnya penggunaan karcis. ”Ya bukan cuma tukang parkirnya, masyarakatnya aja nggak memiliki kesadaran,” ujar Ketua Pokja Parkir Udin Saefulah, saat ditemui di ruang kerja Komisi B belum lama ini. Menurut Udin, dari hasil penelitian lapangan yang dilakukan Pokja Parkir, pengadaan tiket parkir selama ini menjadi pengeluaran yang mubazir. Sebab, selain tidak digunakan oleh petugas parkir, konsumen pun tidak pernah meminta karcis parkir. Padahal, kalau mengacu pada Perda 2 tahun 2008 mengenai parkir badan jalan, setoran parkir seharusnya didasari jumlah tiket yang terpakai, bukannya menggunakan sistem borongan seperti yang saat ini lazim diterapkan. Celakanya, kata Udin, kondisi ini diperparah dengan tidak adanya pertanggungjawaban yang jelas, baik dari kolektor parkir maupun juru parkir. Dari hasil temuannya, buku karcis parkir hanya dijadikan formalitas. Kalaupun kolektor parkir menarik setoran, maka tidak pernah kolektor tersebut membubuhkan nama jelas dalam bundel tiket parkir yang dikumpulkannya. ”Cuma paraf aja. Kalau gini, siapa dong yang tanggung jawab?” ujar dia, dengan nada bertanya. Mestinya, lanjut dia, kolektor parkir membubuhkan nama jelasnya, begitu juga dengan juru parkir. Sehingga pertanggungjawaban atas karcis parkir tersebut menjadi lebih jelas dan setoran parkir pun bisa terukur potensinya. Dengan sistem borongan seperti yang diberlakukan sekarang ini, kelemahannya adalah setoran parkir yang tidak transparan dari juru parkir kepada kolektor. Imbasnya, tentu saja semakin sulit untuk mengukur potensi parkir yang sesungguhnya. Dia mencontohkan ruas Jl Bahagia yang menggunakan sistem tiga shift setiap harinya. Masing-masing petugas di ruas jalan tersebut memiliki kewajiban setor Rp8 ribu. Begitu juga ruas Jl Pagongan yang memberlakukan tiga shift parkir dan setorannya Rp8 ribu. Padahal, bila menggunakan sistem karcis, setorannya bisa lebih dari itu. Sebab, uang yang disetorkan adalah hasil penjualan karcis kepada konsumen parkir. Udin mengaku, hasil temuan Pokja Parkir yang melakukan penelitian selama enam bulan, sudah diserahkan kepada Dinas Perhubungan Informatika dan Komunikasi. Jadi saat ini, Pokja Parkir Komisi B tinggal menunggu langkah konkrit tindak lanjut dari Dishubinfokom atas temuan tersebut. ”Saya yakin target bisa tercapai kalau pakai patokan karcis parkir,” tegasnya. Bertolak belakang dengan Udin, Anggota Komisi B dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Priatmo Adji, justru tidak sepakat dengan penerapan setoran parkir yang didasari karcis parkir terjual. Menurutnya, hal itu sulit untuk dilakukan mengingat kesadaran masyarakat maupun juru parkir yang masih rendah. ”Coba kamu minta sama juru parkir, apa diberi itu tiket parkirnya?” kata dia. Lebih efektif, kata Adji, adalah optimalisasi sistem yang saat ini sudah berjalan. Sistem setoran borongan sebetulnya sudah baik, sebab juru parkir dibebani target setoran. Tetapi pada implementasi di lapangan, ternyata sistem ini dijalankan setengah hati. Setidaknya kesan itu terlihat dari masih adanya setoran parkir yang hanya Rp2 ribu dan Rp2.500/hari. ”Itu angka yang udah nggak logis. Harusnya bisa naik lebih dari itu,” ucap dia. Adji menjanjikan untuk mengupayakan dilaksanakannya rapat kerja antara Komisi B dengan Dishubinfokom. Dalam rapat kerja itu, wakil rakyat akan meminta penjelasan Dishubinfokom soal manajemen pengelolaan parkir. Kemudian, akan dipikirkan solusi untuk membuat sistem parkir menjadi lebih efektif dan lebih menghasilkan dari segi pendapatan asli daerah (PAD). ”Kalau diamati, mana ada parkir badan jalan yang sepi. Coba lihat sendiri, mobil yang parkir selalu ramai,” katanya. Sementara itu, Kepala Dis­hubinfokom Drs H Yusa NK, mengakui kelemahan penerapan sistem karcis pada parkir berlangganan. Apalagi selama ini juru parkir memang jarang yang memberikan karcis parkir kepada pengguna jasa parkir. ”Ya kalau aturannya sih memang harus pakai karcis parkir. Menentukan setoran juga kalau mengacu perda kan harus berdasar sama karcis parkir juga,” ujar dia. Menurut Yusa, tidak digunakannya karcis parkir memang seperti sudah menjadi kebiasaan. Juru parkir sudah terbiasa tidak memberikan sobekan karcis parkir dan konsumen pun sudah terlanjur terbiasa untuk tidak menanyakan karcis parkir. Namun Yusa menjanjikan pihaknya akan segera memikirkan konsep sistem parkir yang dapat menggenjot pendapatan dari retribusi parkir. Berbagai kemungkinan akan dikaji dan akan melibatkan Komisi B DPRD untuk konsultasi. (yud)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: