Angkie, Gadis Tunarungu Jadi CEO

Angkie, Gadis Tunarungu Jadi CEO

KESAMBI- Angkie Yudistia, gadis kelahiran Medan 5 Juni 1987 itu terlahir sebagai anak normal yang cantik, manis, dan baik-baik saja. Namun ia mulai mengalami gangguan pendengaran ketika masih di bangku SD dan sering tidak merespons ketika orang lain memanggilnya. Kini Angkie sudah menjadi orang hebat. Seorang penyandang tunarungu yang mampu menembus batas kehidupan. Di usianya yang masih 26 tahun, Angkie sudah menjadi founder dan CEO Thisable Enterprise. Perusahaan yang didirikan bersama rekannya itu fokus pada misi sosial, khususnya membantu orang yang memiliki keterbatasan fisik alias difabel (Different Ability People). \"Ceritanya waktu kecil aku sakit, dikasih antibiotik terus. Tiba-tiba pada usia 10 tahun aku divonis menjadi seorang tunarungu, penyebabnya karena kelebihan antibiotik,\" cerita Angkie saat mengawali seminar \"Menembus Batas\" dalam kegiatan Learning Days 2014 yang digelar Learning Centre Fakultas Ekonomi Unswagati Cirebon, Kamis (20/3). Tekad Angkie yang kuat dan kemauan untuk terus menggali potensi diri, membuatnya tumbuh menjadi anak yang penuh percaya diri. Pada usia 16 tahun, Angkie mulai menggunakan alat bantu dengar. Namun, ia mengaku selama enam tahun hidup dalam kesunyian, ia merasa sangat tersiksa dan terhambat aktivitasnya. Praktis, keterbatasan Angkie itu menimbulkan banyak masalah selama belajar di SD hingga SMA. Tak jarang, ia mengaku sering kali menerima cacian dan hinaan. Perasaan dilema dihadapi Angkie saat lulus SMA. Dokter yang merawatnya menyarankan agar ia tidak melanjutkan kuliah karena stres bisa memperparah kondisi pendengarannya. Namun, Angkie ngotot untuk meneruskan pendidikannya. Ia kemudian kuliah dan menyelesaikan studinya di jurusan periklanan di London School of Public Relations (LSPR), Jakarta. Dengan program akselerasi, Angkie kemudian melanjutkan program master Ilmu Komunikasi. Setelah lulus, Angkie pernah bekerja sebagai humas di beberapa perusahaan. “Tapi bukan berarti aku nggak pernah ditolak kerja ya, sudah sering banget. Alasannya karena waktu mereka tahu aku tunarungu dan nggak bisa pakai telepon,” kisahnya. Ada yang membuat Angkie miris tentang persepsi dan perlakuan orang terhadap kaum difabel. Orang-orang dengan kekurangan seperti dirinya dianggap tak memiliki kemampuan apa-apa, termasuk di dunia kerja. \"Padahal, orang difabel punya hak yang sama dengan yang fisiknya normal. Mereka juga sudah berusaha mencari pekerjaan, tetapi tetap saja dianggap tak mampu apa-apa,” kata Angkie. Menjadi pembicara sekaligus motivator dalam seminar di Kota Cirebon adalah pengalaman pertama bagi Angkie. Namun, Angkie menolak jika dirinya disebut sebagai motivator. \"Aku bukan motivator. Hanya ingin berbagi cerita saja dengan mahasiswa di Cirebon. Karena aku juga pernah menjadi seperti mereka, mencari jati diri saat seusia mereka,\" ungkapnya. Dalam seminar tersebut, Angkie juga sempat berbincang dengan siswa-siswi Sekolah Luar Biasa (SLB) yang berasal dari Yayasan Beringin Bakti. Ada pesan yang disampaikan Angkie untuk para generasi muda Cirebon. “Di balik keterbatasan pasti ada kelebihan. Walaupun aku terbatas mendengar, bukan berarti harus terbatas melakukan apapun. Aku ingin menunjukkan semua batas harus ditembus, karena setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Termasuk para generasi muda Cirebon, jadilah generasi yang menembus batas, karena kemajuan negeri ini di tangan kalian,” pesannya seraya tersenyum. (mik) FOTO: ILMI YANFA’UNNAS/RADAR CIREBON INSPIRASI. Angkie Yudistia saat mengisi seminar bertajuk; Menembus Batas, kemarin (20/3).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: