Pemerintah Nilai Jumlah Uang Diyat Satinah Tidak Wajar
JAKARTA - Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono mengatakan, uang diyat yang berlaku di Arab Saudi telah berubah fungsi menjadi komoditi bagi masyarakat di sana. Hal itu tercermin dari jumlah uang diyat yang dibebankan pada Satinah, yakni sebesar Rp21 miliar. Agung menilai, permintaan uang diyat sering kali di luar kewajaran terjadi karena pembayaran yang di-cover oleh pemerintah. Oleh karenanya, tak jarang ahli waris melambungkan jumlah uang diyat yang mereka minta. \"Ini karena di-cover oleh pemerintah dengan berbagai cara, saya kira (uang diyat yang diminta) ini di luar kewajaran,\" katanya di Jakarta, kemarin. Meski demikian, ia menegaskan bahwa pemerintah akan terus melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan Satinah. Menurutnya, pemerintah juga tidak akan mempersoalkan apakah Satinah benar bersalah atau tidak, untuk melakukan pembelaan. \"Kita tidak mempersoalkan apakah Satinah itu karena hukumnya benar atau tidak, tetapi fakta hukumnya dia bersalah. Kita sudah dilakukan seintens mungkin. Bagaimana caranya agar jangan sampai WNI kita dihukum mati di negeri orang,\" tuturnya. Tetapi, lanjutnya, jangan sampai pemerintah Indonesia menjadi objek permainan orang-orang Saudi yang meminta diyat. \"Kami juga tidak sudi jadi komoditas, apalagi dari berbagai pihak yang mendorong-dorong keluarga korban, bisa saja kan itu terjadi. Kita tidak pernah tahu itu,\" tandasnya. Agung juga mengapresiasi langkah masyarakat dalam menggalang dana bantuan untuk Satinah. Ia berharap, uang tersebut dapat memenuhi kekurangan uang diyat Satinah sebesar Rp9 miliar. \"Langkah masyarakat membentuk bantuan itu sudah sangat baik. Kalau tidak cukup juga semoga mendekati tinggal 3 hari sudah terpenuhi,\" ungkapnya. Dalam upaya membebesakan Satinah dari jeratan hukuman pancung, pemerintah mengklaim telah memiliki skema kesepakatan Internasional dengan Arab Saudi terkait kasus tersebut. Pemerintah juga telah mengutus satgas TKI yang dipimpin oleh Mantan Menteri Agama, Maftuh Basyuni untuk melakukan negosiasi ulang besaran diyat Satinah. Presiden Susilo Bambang Yudoyono juga telah mengirim kembali surat permohonan penundaan eksekusi dan pembayaran diyat kepada Raja Saudi. Sementara itu, Ahli Hukum Internasional Hikmahanto Juwana justru memiliki pandangan lain terhadap kisruh pembayaran diyat Satinah. Menurutnya, pemerintah tidak seharusnya membayar diyat yang diminta oleh keluarga korban. Sebab, diyat tidak masuk dalam perjanjian hukum internasional antar negara. \"Diyat tidak seharusnya dibayar oleh pemerintah dalam konteks perlindungan warga negara. Diyat merupakan hubungan antara pelaku dan keluarga korban yang bersifat kontraktual,\" ujarnya. Namun, lanjutnya, hal ini bukan berarti pemerintah tidak memiliki kewajiban untuk melakukan perlindungan terhadap warga negaranya di luar negeri. Pemerintah tentu memiliki kewajiban untuk melakukan perlindungan mulai dari pengawalan proses hukum, termasuk mencarikan pengacara setempat bila dibutuhkan, hingga pelaku menjalani masa hukuman. Selain itu, menurutnya, permintaan diyat Satinah yang begitu tinggi saat ini adalah akibat dari pembayaran diyat Darsem yang dilakukan pemerintah beberapa tahun lalu. Hal ini kemudian yang memicu keluarga korban untuk mengomersialkan diyat. \"Sebab kan dalam pandangan keluarga korban bila pemerintah Indonesia yang melakukan pembayaran, maka kemampuan pemerintah tidak ada batasan. Pemerintah Indonesia dianggap mampu untuk membayar seberapapun uang diyat yang diminta,\" jelasnya. Kondisi ini pun dianggap olehnya tidak akan baik, sebab pemerintah akan diperas secara terselubung oleh keluarga korban. Karenanya, ia menyatakan tidak seharusnya pemerintah melakukan pembayaran uang diyat. Pemerintah pun harus menyampaikan kepada keluarga korban terkait hal ini. \"Uang yang seharusnya dapat digunakan untuk pembangunan dan memberi kesejahteraan rakyat tidak seharusnya digunakan untuk membayar \"pemerasan\" melalui lembaga diyat,\" tandasnya. (mia)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: