Keluarga AQJ Bisa Ajukan Praperadilan
*Sejumlah Pengacara Siap Mendampingi, Kontras Nilai SP3 Penuh Kejanggalan CIREBON – Langkah kepolisian yang mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Perkara) atas kasus meninggalnya Abdul Qodir Jaelani (19), mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon yang menjadi peserta Diklatsar Mahapeka, mengundang komentar beragam. Sejumlah pengamat hukum menilai hal itu merupakan hak kepolisian, namun Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) menilai, keputusan itu penuh kejanggalan. Pengamat hukum pidana, Agus Prayoga SH mengatakan, SP3 atau menetapkan penanganan kasus dihentikan, merupakan hak dari kepolisian atau penyidik. Dalam hal ini, pria yang akrab disapa Ayo itu meyakini penyidik kepolisian memperhitungkan berbagai pertimbangan dari keputusan menghentikan penyidikan tersebut. “Polisi menghentikan bukan karena tidak terbukti adanya kekerasan. Tetapi karena tidak cukup bukti dan saksi tentang adanya unsur kekerasan. Ini menjadi pertanyaan besar,” ucapnya kepada Radar Cirebon, Jumat (28/3) malam. Karena itu, lanjut Ayo, harus ada kerjasama dan keseriusan dalam pengusutannya. Terutama saksi yang meyakinkan dari teman-teman almarhum AQJ saat kegiatan diklatsar Mahapeka. Meskipun demikian, dihentikannya penyidikan dari kepolisian, bukan berarti segalanya berakhir. Pihak keluarga atau orang ketiga yang berkepentingan, dapat mengajukan upaya hukum praperadilan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan tersebut. “Untuk masuk ke praperadilan, harus ditunjang bukti dan saksi kuat. Ini penting bagi perjalanan kasus selanjutnya,” ujar Ayo. Jika praperadilan diterima, kasus harus dilanjutkan hingga selesai, sampai vonis pengadilan. Terkait kasus AQJ, Ayo menilai dapat diidentifikasi dari luka fisik yang ditimbulkan. Misalnya, indikasi kekerasan dapat dilihat dari memar. Namun, memar itu bukan berarti selalu akibat kekerasan. Karena bisa jadi karena diri sendiri akibat kelelahan atau sakit tertentu. “Ada dua kemungkinan memar akibat kekerasan orang lain atau diri sendiri. Ini poin pembuktiannya,” jelas Agus Prayoga. Namun, karena keterlambatan waktu pemeriksaan, serta tidak adanya saksi maupun bukti, maka nilai pembuktiannya bisa menyulitkan. Untuk SP3 atau penghentian penyidikan perkara AQJ, selain bisa digugat praperadilan, juga dapat dibuka kembali oleh penyidik jika di belakang hari ditemukan bukti atau saksi baru. Terkait hal itu, Ayo yang juga praktisi hukum, bersedia mendampingi dan membantu keluarga AQJ dalam mencari keadilan. Dengan catatan, keluarga AQJ menghendaki agar bersama-sama pihak lainnya membantu memperjelas kasus tersebut. “Saya yakin, kuasa hukum AQJ memiliki kiat tersendiri dalam menghadapi persoalan ini. Semoga keadilan bisa ditemukan dan kebenaran ditegakan,” harapnya. Senada dengan Agus, Koordinator Perkara Lembaga Bantuan Hukum (Lebah) Cirebon, Syafrudin SH mengatakan, dari segi peraturan, dikeluarkannya SP3 oleh pihak kepolisian sudah memenuhi aspek kepastian hukum. Namun, kata dia, diterbitkannya SP3 oleh pihak kepolisian telah menciderai rasa keadilan masyarakat. \"Sehingga masyarakat dapat saja mengajukan keberatan tentang terbitnya SP3 itu,\" tuturnya. Dijelaskan Syafrudin, SP3 diatur secara limitatif dalam pasal 109 ayat (2) KUHAP. Dalam aturan tersebut, penghentian dapat dihentikan bila tidak diperoleh bukti yang cukup, yaitu apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka, peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana dan penghentian penyidikan demi hukum. \"Dan secara formal, pemberhentian penyidikan oleh kepolisian memang berdasar dan tidak salah, namun hal ini melukai masyarakat,\" tuturnya. Bila memang pihak keluarga ataupun pihak lain dalam hal ini masyarakat masih belum merasa puas dengan penyidikan tersebut, Syafrudin mengaku pihaknya siap melakukan pendampingan untuk proses pra peradilan. Selagi memang bukti-bukti dan fakta yang dimiliki cukup. \"Bisa ajukan gugatan pra peradilan sesuai ketentuan yang berlaku. Dan kami siap untuk memberikan pendampingan asal dengan bukti-bukti yang kuat,\" tukasnya. KONTRAS ENDUS KEJANGGALAN Terpisah, aktivis Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) melalui Divisi Pembelaan Hak-hak Sipil dan Politik, Arif Nurfikri menilai penyidik dalam hal ini Polres Kuningan tidak transparan menangani kasus AQJ. Dia melihat, pihak kepolisian belum maksimal dalam penanganan kasus tersebut. Salah satu yang dikritisi Arif adalah saat ia mendampingi keluarga korban hingga awal Maret lalu, dengan tidak diberikannya Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) oleh kepolisian. Hal ini, menurutnya, janggal dan menunjukan ada pengabaian hak yang seharusnya diperoleh keluarga korban. “Keluarga korban tidak pernah diberikan SP2HP dan tidak pernah mengetahui sampai di mana penyidikannya, setidaknya hingga saya masih di Cirebon kira-kira tiga minggu yang lalu, keluarga belum terima SP2HP,” ujarnya. Selain SP2HP, menurutnya pihak kepolisian juga seharusnya bisa mencari cara agar keluarga korban mendapat keadilan. Menurutnya, selama ini keluarga terkesan mencari keadilan sendiri. “Kita sudah usulkan agar saksi-saksi dalam penyidikan tersebut diberikan perlindungan karena khawatir adanya intervensi dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam kasus ini. “Informasi yang saya dengar dari kawan-kawan di daerah, keluarga akan melaporkan masalah ini ke berbagai lembaga nasional seperti Kompolnas, Komnas HAM dan Kontras. Akan kita tunggu dan kita bantu semaksimal mungkin di Jakarta,” paparnya. Ia juga berharap, polisi lebih bekerja keras dalam penanganan kasus tersebut. Bahkan menurutnya, tidak hanya aduan keluarga yang diproses, namun temuan-temuan di lapangan, baik itu kelalaian panitia ataupun indikasi teledor yang menyebabkan hilangnya nyawa manusia harus diproses agar keluarga mendapatkan keadilan. “Saya rasa penyidik akan professional dan tidak akan mengorbankan citranya untuk menutupi kasus ini,” tukasnya. (ysf/kmg/dri) ikut dinyatakan selesai. Setelah dilakukan otopsi terhadap jenazah korban, pihak kepolisian tidak menemukan adanya unsur kekerasan saat diklatsar UKM Mahapeka yang berlangsung waktu itu. Kasus pun dinyatakan selesai dan proses penyidikan dihentikan. Kasat Reskrim Polres Kuningan AKP Real Mahendra mengatakan, penanganan kasus meninggalnya AQJ telah dilakukan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Mulai dari pemeriksaan saksi-saksi, baik panitia dan rekan AQJ selama pelaksanaan Diklatsar, hingga pihak keluarga yang mendampingi AQJ selama perawatan di rumah sakit. Setelah itu, imbuh Real, dilanjutkan dengan proses otopsi jenazah AQJ oleh dokter forensik Polda Jabar. Diperkuat hasil rekam medik dua rumah sakit yang menangani AQJ, semuanya menunjukkan kematiannya bukan akibat kekerasan melainkan karena ada riwayat penyakit yang diderita korban. \"Semua saksi panitia dan rekan korban menyebutkan tidak terjadi kekerasan terhadap korban, dan sejumlah lebam pada wajah korban yang ditemukan pada saat otopsi itu proses alami,” jelas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: