Cegah dan Segera Periksa Hadi Purnomo

Cegah dan Segera Periksa Hadi Purnomo

JAKARTA - Pasca menetapkan tersangka, KPK langsung melakukan pencegahan terhadap mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Purnomo. Penyidik juga telah menyiapkan pemeriksaan terhadap Hadi maupun sejumlah saksi dari BCA. Wakil Ketua KPK Busyro Muqodas mengungkapkan penyidik segera memeriksa Hadi sebagai tersangka. Namun Busryo belum bisa mematiskan apakah pemeriksaan itu akan diikuti dengan penahanan atau tidak. \"Segera mungkin penyidik akan memeriksa yang bersangkutan,\" ujarnya. Dari pemeriksaan Hadi maupun saksi lainnya, Busyro mengatakan tidak menutup kemungkinan akan ada penetapan tersangka lain. Termasuk juga nama-nama dari pihak swasta, dalam hal ini BCA. \"Nantilah dalam perkembangannya akan ketahuan siapa pihak swastanya,\" katanya. Selain menyangkakan pelanggaran penyalagunaan kewenangan, KPK juga masih mendalami dugaan adanya pemberian dari BCA untuk Hadi, yang saat itu sebagai Dirjen Pajak. \"Busyro mengatakan, modus perkara Hadi hampir mirip dengan yang dilakukan Gayus Tambunan. \"Secara garis besar perkara ini mirip dengan kasus Gayus, ada kesamaan modus,\" ungkapnya. KPK juga tengah menelaah harta melimpah Hadi yang berkembang sejak 2006. Menurut Busyro, tidak menutup kemungkinan ada unsur tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan pria 67 tahun itu. \"Kami belum masuk ke sana (pengusutan TPPU), tapi itu bukan berarti tidak kami lakukan,\" ujarnya. Busyro mengelak tudingan penanganan perkara ini dilakukan karena BPK tengah mengaudit KPK. \"Itu tidak benar, Audit KPK itu justru WTP (Wajar Tanpa Pengecualian),\" katanya. Dia mengaku meskipun kasus itu sudah lama, tapi KPK baru menerima laporan pada 2013. \"Nah kami butuh waktu untuk menindaklanjuti laporan masyarakat itu,\" ungkap Busyro. Sementara itu, Anggota Komisi III Bambang Soesatyo mengapresiasi langkah KPK dalam penetapan Hadi Purnomo sebagai tersangka kasus pajak BCA. Menurut Bambamg, upaya itu seharusnya menjadi momentum untuk menelusuri kasus korupsi yang lebih besar. \"KPK harus menelusuri proses release and discharge kasus BLBI,\" ujar Bambang di Jakarta, kemarin. Menurut Bambang, kasus BCA menjadi pintu masuk di kasus BLBI, karena salah satu bank terbesar di Indonesia itu adalah salah satu penerima BLBI. Menurut Bambang, BCA ketika itu diagunkan, namun dibeli lagi oleh pemilik lama dengan menggunakan nama pihak lain. \"BLBI itu yang paling merugikan, 60 triliun beban tiap tahun harus dituntaskan KPK. Seharusnya itu menjadi kewajiban para konglomerat untuk melunasi,\" ujarnya. Dalam posisinya sebagai mantan Dirjen Pajak, Bambang mendorong kepada Hadi untuk bisa membuka skandal pajak. Hadi dalam hal ini juga memiliki momentum untuk bisa melakukan perbaikan atas sistem pajak di Indonesia.\"Dia harus buka data dan informasi yang dimiliki tentang penyimpangan pajak dan harta kekayaan yang diperoleh secara tidak sah sejumlah pejabat tinggi negara,\" tandasnya. *NGAKU SESUAI ATURAN Jajaran direksi PT Bank Central Asia Tbk menampik adanya dugaan \"main belakang\" kasus penerimaan keberatan pajak pada 2003, dengan tersangka korupsi yang tak lain mantan ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Purnomo. Pengurus terkini perbankan dengan laba terbesar ke tiga di tanah air itu menyatakan, perseroan telah menempuh prosedur keberatan sesuai dengan regulasi. Presiden Direktur Bank BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan, pihaknya tidak merasa ada kejanggalan terhadap keputusan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yang kala itu digawangi oleh Hadi Purnomo selaku direktur jenderal (dirjen) pajak. \"Diterima maupun tidak diterima sebenarnya punya dampak sama terhadap BCA. Kalaupun ditolak, kami masih ada kerugian Rp2,04 triliun,\" ungkapnya di kantor pusat Bank BCA, kemarin (22/4). Jahja pun memerinci ihwal kronologis perpajakan BCA tahun fiskal 1999. Akibat krisis ekonomi pada 1998, BCA mengalami kerugian fiskal sebesar Rp29,2 triliun. Mayoritas saham BCA pun saat itu diambil alih oleh Pemerintah sejumlah 92,8 persen. Sesuai dengan regulasi, kerugian fiskal tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan alias tax loss carry forward mulai tahun pajak berikutnya. Kemudahan ini dapat digunakan berturut-turut hingga lima tahun. Pada 1999, BCA pun mulai membukukan laba fiskal sebesar Rp174 miliar. Lantas, saat pemeriksaan pajak pada 2002, Ditjen Pajak mengoreksi laba fiskal periode 1999 tersebut menjadi Rp6,78 triliun. \"Dalam hal ini BCA dan Ditjen Pajak berbeda,\" ungkap pria yang pada 2003 menjabat sebagai direktur keuangan dan pembinaan wilayah tersebut. Di dalam nilai Rp6,78 triliun itu, Ditjen Pajak memasukkan transaksi pengalihan aset termasuk jaminan sebesar Rp5,77 triliun. Angka tersebut diperoleh dari proses jual beli aset dan penyerahan piutang dengan BPPN nomor SP-165/BPPN/0600. Padahal, ungkap Jahja, transaksi jual beli dan penyerahan piutang tersebut dilakukan sesuai dengan instruksi Menteri Keuangan Boediono dan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin nomor 117/KMK.017/1999 dan 31/15/KEP/GBI pada 26 Maret 1999. \"Aset pinjaman macet dan direstruktur termasuk agunan atau jaminan dialihkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sesuai surat keputusan bersama tersebut,\" jelasnya. Sayangnya, transaksi pengalihan aset yang merupakan jual beli piutang itu, dinilai oleh Ditjen Pajak sebagai penghapusan piutang macet. Lantaran itu, pada 17 Juni 2003, BCA mengajukan keberatan kepada koreksi pajak Ditjen Pajak. Keberatan itu pun diterima oleh Ditjen Pajak lewat SK nomor KEP-870/PJ.44/2004 pada 18 Juni 2004. \"Perpajakan kami benar. Sebab itu, saat 2002 ada koreksi pajak, kami lakukan keberatan, karena kami merasa itu (prosedur) benar,\" terangnya. Pada saat berakhirnya masa kompensasi kerugian pajak 1998, Jahja mengungkapkan, masih ada sisa kompensasi yang belum digunakan sebesar Rp7,81 triliun. Sehingga, jika keberatan BCA atas koreksi pajak senilai Rp5,77 triliun tidak diterima oleh Ditjen Pajak, maka masih terdapat sisa --tax loss carry forward-- yang dapat dikompensasikan sebesar Rp2,04 triliun. Sisa --tax loss carry forward-- tersebut tidak bisa dipakai lagi alias hangus setelah tahun 2003. Sebetulnya, pengajuan keberatan pajak BCA ini bukan kali pertama. Pada 1998, BCA juga pernah mengajukan keberatan dan ditolak oleh dirjen pajak. Tak puas dengan keputusan tersebut, BCA naik banding ke pengadilan pajak. \"Karena proses formal tata cara pemeriksaan yang salah, sehingga kami dinyatakan menang oleh pengadilan pajak,\" paparnya. Di sisi lain, pengamat Hukum Pajak Universitas Airlangga Surabaya Suhirman Jamal mengatakan, perlu ada reformasi pada tubuh BPK itu sendiri. Sebab, selama ini politik telah melindungi Dirjen Pajak sebagai salah satu obyek yang bebas diaudit. \"Tentu kasus ini ada laporan orang dalam. Karena dirjen pajak itu salah satu instansi yang tidak bisa diaudit selain Pertamina. Seharusnya lembaga yang berperan dalam pengelolaan uang negara harus bisa diaudit,\" ungkapnya. (gun/byu/gal)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: