Harus Ada Poros Baru
**Munculkan Tokoh Alternatif untuk Imbangi Capres Joko Widodo dan Prabowo JAKARTA - Hasil hitung cepat Pileg 9 April 2014 makin menarik dijadikan bahan simulasi koalisi parpol. Ibarat main kartu, semua berpotensi memainkan truf. Ibarat main catur, masih banyak yang bisa digeser kiri-kanan. Karena tak ada parpol yang menang telak 25 persen suara dan belum ada yang yakin dapat 20 persen kursi di DPR RI, maka harus berkoalisi. Dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Indopos dan JPNN di Meal n Meet Restoran, Jalan Wijaya I, Kebayoran Baru, Jakarta, sejumlah politisi mengutak atik peluang koalisi para parpol, kemarin (23/4). Kesimpulannya, memang masih liquid. Masih sangat cair, belum solid, belum teken kontrak. Masih penjajakan. Kecuali PDI Perjuangan dan Nasdem yang memang sudah berjabat tangan. Poros PDIP-Nasdem sudah jelas mencapreskan Gubernur DKI Joko Widodo di Pilpres 9 Juli nanti. Lainnya? Masih berhitung, masih menunggu hitungan KPU dan kepastian jumlah kursi. Ke-9 nara sumber, masih malu-malu kucing, menyembunyikan trufnya. Mereka yang hadir adalah Marzuki Ali (Partai Demokrat), Drajad Wibowo (PAN), Fahri Hamzah (PKS), Ahmad Basar (PDIP), Marwan Jafar (PKB), Fadli Zon (Gerindra), Mahadi Sinambela (Partai Golkar), Prof Hamka (PDIP), dan Arie Junaedi, pengamat politik. Jawaban-jawaban mereka masih normatif. Seperti, harus menyesuaikan platform partai, melihat ideologi partai, tidak mau hanya bagi-bagi kursi menteri, tidak mau dagang sapi dengan posisi wapres, yang semua itu lebih pada menjaga diri agar tidak kelihatan trufnya, dulu. Politisi-politisi di atas memang pintar beranalisis, itu harus diakui. Karena itu, perbincangan selama 2,5 jam itu tetap menarik disimak. H Marzuki Ali SE MM, yang juga ketua DPR RI itu lebih blak-blakan. Tokoh asal Palembang, Sumsel ini lebih tegas dan to the point. Demokrat pasti akan berkoalisi untuk melanjutkan pemerintahan ke depan. “Tinggal, yang bagus-bagus dilanjutkan, yang belum bagus disempurnakan, yang jelek dibuang! Tapi, dengan siapa, bentuknya seperti apa, itu belum diputuskan di internal partai,” kata Marzuki. Dia mengakui, tidak ada parpol yang 100 persen mempertahankan idealisme dan platform partai. Pragmatisme tidak bisa dihindarkan. “Faktanya kan begitu. Parpol berburu suara ke NU dan Muhammadiyah, itu tidak bisa dibantah. Semua sudah sowanlah. Semua sudah merangkul sana sini. Ini rasional dan logis. Dalam politik, itu tidak bisa dinafikan,” cetusnya. Apakah Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono sudah punya skenario dari hasil pileg itu? Menurut Marzuki, belum ada bocoran, belum di sampaikan dalam rapim. Minggu ini rapat dengan peserta konvensi dan organizer konvensi dilakukan. Dan Minggu (27/4), konvensi digulirkan lagi di Sahid Jaya Hotel, Sudirman. “Semua masih cair, masih bisa disambung-sambungkan. Masih bisa diutak-atik gathuk. Masih guyon, tetapi siapa tahu guyon pun bisa nyantol” ucapnya. Wakil Ketua Umum DPP PAN Dr Ir Dradjad Hari Wibowo MEc juga cukup transparan menyebut partainya juga sedang mempertimbangkan koalisi. Istilah koalisi Indonesia Raya itu menurut dia berasal dari Mantan Ketua Umum DPP PAN Amin Rais, yang sering mengeluarkan kosa kata yang aneh-aneh dan menjadi tranding topic. “Sudah ada pembicaraan dengan elite-elite partai, maksudnya ketua-ketua partai. Sudah mengerucut. Tunggu tanggal mainnya, 9 Mei, setelah modal dasar dari masing-masing partai,” kata ekonom INDEF ini. Istilah poros itu sendiri substansinya adalah gabungan beberapa parpol yang memiliki tujuan yang sama. Semula mau disebut Poros Merah Putih, Poros Indonesia Jaya, atau Poros Tengah. Dia mengakui, sudah beberapa kali bertemu dengan ormas-ormas Islam, di antaranya NU dan Muhammadiyah, untuk menggagas poros baru yang berbasis massa Islam itu. Hampir semuanya, dasarnya sama, Pancasila. Jadi sudah pasti nasionalis. “Kami bersama Amin Rais itu diundang oleh ormas Islam. PKB dan PKS juga diundang. Bukan hanya membahas pilpres saja, tetapi agenda pasca pilpres. Di Senayan, agendanya jauh lebih penting dibandingkan pilpres,” ungkapnya. Poros baru kali ini, memang tidak sama dengan Poros Tengah zaman tahun 1999 lalu. Poros banyak parpol itu berhasil menaikkan Gus Dur menjadi presiden, melawan PDIP yang kuat. “Tetapi saat ini petanya berubah, sulit seperti 99 itu, pemilihan juga langsung. Yang paling bisa adalah, partai berbasis massa Islam ini bergabung dan membentuk koalisi baru. Ini momentum, yang masuk akal,” jelasnya. Soal momentum itu, tokoh muda PKS H Fahri Hamzah SE ini sependapat. Harus ada tokoh alternatif yang mewakili poros baru itu. Ketika di sebelah kiri ada Jokowi, di sebelah kanan ada Prabowo yang mengerucut, harus ada alternatif yang tidak terwakili oleh kedua sosok tersebut. Dia menyebut, Dahlan Iskan misalnya.”Masih cukup waktu,” kata pria kelahiran Sumbawa, NTB, 10 Oktober 1971 ini. Fahri masih menyesalkan sistem pemilu langsung 9 April lalu. Dia menyebut itu pileg yang paling sadis. Dia memprediksikan, di Pilpres nanti akan semakin sadis dan brutal. Siapa yang memiliki capital yang besar, dialah yang berpotensi menguasai suara. Dia sangat cemas dengan iklim berpolitik di negeri ini, yang mengedepankan rasa dan mengesampingkan nalar.”Siapa yang bisa menjamin presiden ke depan lebih baik? Bisa berjalan dengan aman? Tidak ada jaminan. Ada konglomerasi di politik. Kalau masih begini, lebih baik PKS menjadi oposisi saja,” ungkap Fahri. Termasuk soal koalisi dan kasak-kusuk parpol menunggu perhitungan resmi dan final dari KPU. Fahri menyebut jagat politik dan parpol-parpol itu mirip perkawinan artis saja. Yang ramai di awal, gembos di pertengahan, satu-dua bulan sudah tidak kedengaran suaranya. Bahkan bisa jadi sudah bercerai lagi. Dan itu menjadi bahan publikasi yang besar dan menarik perhatian publik lagi. “PKS juga masih menunggu hasil perhitungan resmi di KPU,” papanya. (jpnn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: