Pimpinan Dewan Bungkam
**Enggan Tanggapi Pernyataan Aang soal Geothermal KUNINGAN – Empat pimpinan DPRD Kuningan, ternyata tidak ada satu pun yang mau menanggapi statemen mantan bupati H Aang Hamid Suganda soal geothermal. Padahal, keempat pimpinan tersebut telah meneken surat penolakan jelang pileg lalu. Ketua DPRD Rana Suparman SSos, sampai ketiga wakilnya H Yudi Budiana SH, Drs Toto Suharto SFarm Apt dan Drs H Toto Hartono, memilih bungkam dalam mengomentari pertambangan panas bumi. Bahkan, Ketua Komisi C, Nuzul Rachdy SE yang telah melakukan rekomendasi kepada pimpinan, tidak mau lagi angkat bicara. “Kalau kami dari komisi C sudah melakukan kajian dan mengeluarkan rekomendasi yang disampaikan ke pimpinan. Selanjutnya, silakan ke pimpinan,” kata Zul, sapaan akrab Nuzul Rachdy kala dikonfirmasi Radar, kemarin (2/6). Namun terdapat satu wakil rakyat yang mau berbicara meskipun identitasnya enggan dikorankan. Dia mengatakan, dampak positif dan negatif itu dipastikan akan selalu ada. Itulah yang membuat lembaga DPRD mengeluarkan sikap politik berupa penolakan. “Masalahnya berada pada WKP (wilayah kerja pertambangan) seluas 24 ribu hektare. Kalau memang Pak Aang mengatakan yang digunakan hanya dua hektare, apa jaminannya? Di Garut saja, rencana hanya tiga titik pengeboran ternyata sekarang ada 20 titik,” ungkap politisi yang mewanti-wanti agar namanya tidak dikorankan itu. Bukan hanya itu, dia juga berbicara tentang kesejahteraan yang hendak dicapai dengan dioperasikannya geothermal. Kajian terhadap para petani yang biasa meraup keuntungan besar dari usaha taninya di lereng gunung, patut dilakukan. “Berapa sih penghasilan petani di lereng gunung selama ini, baik dari jambu maupun dari hasil tani lainnya. Saya dengar sendiri dari petaninya pendapatan dari itu bisa mencapai Rp30 miliar. Nah, kalau melihat hal tersebut, sisi mana yang menyejahterakan masyarakatnya?” tanya dia. Terpisah, salah seorang anggota dewan, Nana Rusdiana menilai, persoalan geothermal menjadi polemik berkepanjangan. Agar tidak menjadi bola liar, pihaknya menyarankan agar bupati selaku kepala daerah segera mengambil sikap tegas. “Saya akui banyak tanggapan baik yang bersifat positif maupun negatif terhadap persoalan ini. Ini akibatnya kurangnya sosialisasi. Mestinya sosialisasi yang dilakukan itu tidak setengah-setengah,” ungkap politisi yang kebetulan menjabat sebagai ketua Barak Kuningan itu. Selaras dengan ungkapan Aang, sosialisasi yang harus dilakukan harus menyeluruh termasuk kajian teknisnya. Dengan begitu, masyarakat pun akan paham apa dampak positif dan negatif dari pelaksanaan geothermal nanti. Ia juga setuju dari sisi positif, keberadaan geothermal bisa meningkatkan PAD. “Sosialisasinya jangan setengah-setengah. Kajian teknis dari rencana tersebut mesti dibeberkan secara terbuka kepada publik supaya paham. Ada baiknya bupati selaku kepala daerah mengambil sikap tegas. Jangan sampai dibiarkan sehingga menjadi bola liar,” kata Nana. Sementara itu, anggota dewan yang tidak mau dikorankan namanya tadi menyodorkan data tentang pengelolaan SDA untuk kedaulatan negara. Data tersebut berisi pemaparan Ir Marwan Batubara Msc, mantan GM PT Indosat yang membeberkan regulasi terkait hal itu. Disebutkan, pada 1968 terbit UU 6/1968 yang mencantumkan ketentuan yang termaktub dalam pasal 3 ayat 1. “Perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurang-kurangnya 51 persen daripada modal dalam negeri yang ditanam di dalamnya dimiliki oleh negara dan atau swasta nasional. Sesuai UU ini asing sudah boleh memiliki saham hingga 49 persen,” katanya mengutip Marwan Batubara dalam data tersebut. Dalam data tersebut Marwan juga menyebutkan perbandingan pendapatan yang diperoleh asing dan dalam negeri dari sejumlah kasus. Pada kasus Natuna, misalnya, Blok Natuna merupakan salah satu sumber cadangan gas terbesar di dunia. Potensinya mencapai 46 triliun kaki kubik atau 1.270 miliar meter kubik gas, sesuai data ExxonMobil. “ExxonMobil meraup seluruh bagi hasil dari Blok Natuna. Sedangkan pemerintah hanya menerima pendapatan dari pajak,” ungkap Marwan dalam data tersebut. Begitu pula pada kasus Freeport. PT Freeport hanya memberi royalti bagi pemerintah senilai satu persen untuk emas dan 1,5-3,5 persen untuk tembaga. Royalti ini jauh lebih rendah dari negara lain yang biasanya memberlakukan enam persen untuk tembaga serta lima persen untuk emas dan perak. “Penerimaan pemerintah dari pajak, royalti, dan deviden PT Freeport hanya seperempat dari keuntungan yang diperoleh PT Freeport. Tahun 1996 pemerintah hanya menerima 479 juta dolar AS, sedangkan Freeport menerima 1,5 miliar dolar AS. Tahun 2005 pemerintah hanya menerima 1,112 miliar dolar AS, sedangkan Freeport 4,179 miliar dolar AS,” beber Marwan, masih dalam data yang sama. (ded)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: