Soal Mutasi, Wali Kota Diminta Transparan

Soal Mutasi, Wali Kota Diminta Transparan

KESAMBI - Mutasi ketiga pasangan Ano-Azis akan digelar November nanti. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 5 tahun 2005 tentang Pedoman Penilaian Calon Sekda dan Eselon Dua di Kabupaten/Kota, Provinsi Jawa Barat hanya melakukan asistensi atau penilaian saja. Sementara, untuk jabatan eselon tiga dan empat, seluruhnya kebijakan wali kota yang dikoordinasi melalui BK-Diklat dan tim Badan Pertimbangan Kepangkatan dan Jabatan (Baperjakat). Pengamat Pemerintahan Agus Dimyati SH MH mengatakan, pada prinsipnya mutasi merupakan hak prerogatif wali kota. Selaku pemegang kebijkan tertinggi, wali kota memiliki peran sangat strategis dalam mutasi. Akademisi Unswagati ini menilai, pasangan Ano-Azis ingin menerapkan dua kriteria dalam menempatkan pejabat eselon dua hingga empat. Pende­katan dilakukan melalui persyaratan administratif dan penilai­an kinerja melalui kompe­tensi maupun prilaku. “Itu dua hal yang harus ada dalam menempatkan seorang peja­bat di jabatan tertentu,” ucapnya kepada Radar, Jumat (17/10). Prosesnya, lanjut Agus Dim­yati, untuk syarat adminis­tratif dimulai dari SKPD induk, BK-Diklat sampai Baperjakat dengan menyampaikan risalah calon pejabat. Namun, ujar do­sen hukum administrasi nega­ra itu, tolak ukur kemam­pu­an kinerja belum jelas kentara da­lam keseluruhan dua mu­tasi sebe­lumnya. Pasalnya, sis­tem untuk menentukan itu be­lum dilaksanakan dengan baik. Se­bagai contoh, jika peja­­bat A dinyatakan lolos se­cara administratif, secara kemam­­puan kerja belum tentu demikian. Karena itu, perlu ada­nya standar kemampuan. Hal ini, usulnya, dapat diketahui mela­lui sistem fit and proper test. Hasil penilaian antara administratif dengan fit proper test itu, kata Agus Dimyati, dapat menjadi tolak ukur bagi wali kota dan tim Baperjakat dalam menentukan jabatan. “Itu wilayah kebijakan wali kota. Khususnya untuk eselon tiga dan empat,” terangnya. Artinya, wali kota berhak melakukan uji kelayakan calon pejabat demi mendapatkan orang yang kompeten di bidangnya. Menurut pria ramah itu, jalannya pemerintahan dan program kerja secara aktif dilaksanakan oleh eselon tiga dan empat. Jika menempatkan pejabat yang tidak sesuai dengan kompetensi, akan sangat mungkin kebijakan pejabat tersebut banyak melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Pelayanan Publik. Dalam aturan tersebut, lanjutnya, setiap kantor pelayanan wajib membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) sebagai tolak ukur kinerja mereka. “SOP menjadi alat ukur transparansi dan standar kerja pelayanan di masing-masing instansi,” tukasnya. Mutasi selalu bersentuhan dengan suka tidak suka. Padahal, ujar Agus Dimyati, tidak semua demikian. Untuk itu, agar tidak menjadi fitnah dan isu kurang baik, wali kota harus transparan dalam proses mutasi. Selama puluhan tahun, warga Kota Cirebon memiliki persepsi berbeda tentang mutasi. Untuk mengubahnya, perlu sistem kuat dan jelas tentang proses mutasi pejabat. Kompetensi meliputi pendidikan, kemampuan dan prilaku yang diterapkan Wali Kota Ano Sutrisno, bertujuan agar pejabat mampu memberikan pelayanan terbaik. Agus Dimyati menegaskan, penempatan eselon tiga dan empat, berperan penting dalam mempercepat good governance (pemerintahan yang baik). Karena itu, dia berharap agar dalam menempatkan eselon tiga dan empat, tidak dilakukan sembarangan. “Peran mereka sangat strategis,” ucapnya. Pengamat kebijakan publik Sigit Gunawan SH MKn mengatakan, secara aturan mutasi dimaksudkan untuk mengisi kekosongan dalam jabatan. Di samping itu, pengangkatan PNS dalam jabatan struktural, juga bertujuan untuk membina karier PNS dalam jabatan struktural. Pengangkatan PNS dalam suatu jabatan, dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu. “Prinsip mutasi sudah jelas. Tergantung bagaimana menjalankan proses tersebut. Ini kembali pada itikad baik pemegang kebijakan,” ujarnya. Sigit menerangkan, persyaratan PNS yang akan diangkat dalam jabatan struktural, antara lain minimal pangkatnya satu tingkat di bawah jenjang pangkat yang ditentukan, memiliki kualifikasi dan tingkat pendidikan yang ditentukan. Semua unsur penilaian prestasi kerja bernilai baik dalam dua tahun terakhir, memiliki kompetensi jabatan yang diperlukan, serta sehat jasmani dan rohani. Selain persyaratan tersebut, ucapnya, pejabat BK-Diklat perlu memperhatikan pula faktor lain. Seperti senioritas dalam kepangkatan, usia, pendidikan dan pelatihan (Diklat) jabatan, serta pengalaman. “Ini proses mutasi ideal,” ujarnya. Senada, Akademisi Unswagati, Gunadi Rasta SH MH mengingatkan Ano-Azis untuk benar-benar bersinergi cermat menentukan nama-nama yang akan dimutasi. Karena yaang terjadi selama ini di lapangan, Ano Azis melakukan mutasi justru menemnpatkan seseorang tapi tidak sesuai dengan keahliannya. Dampak dari itu, yang kasihan tidak hanya program kerja yang tidak optimal, tetapi orang tersebut justru tidak mengerti apa yang harus dikerjakan. Bahkan karena tidak mampu menjalankan tugas, yang bersangkutan sering menangis. Persoalan inilah yang akhirnya menjadi masalah baru di lingkungan birokrasi. “Walikota dan wakil walikota jangan terlalu percaya diri produk mutasinya berkualitas. Buktinya, mutasi yang terakhir digelar justru malah menempatkan orang-orang yang bukan ahli di bidangnya,” pungkasnya. (ysf/abd)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: