Nelayan Berhenti Melaut

Nelayan Berhenti Melaut

Imbas Kenaikan BBM, Modal Semakin Tinggi, Harga Ikan Rendah CIREBON - Sejumlah nelayan tidak melaut dalam beberapa hari terakhir pasca kenaikan harga BBM. Pantauan Radar kemarin (22/11), perahu-perahu para nelayan masih bersandar di pantai pesisir Kota Cirebon. Mereka mengaku tidak melaut lantaran biaya modal yang semakin tinggi. Sementara harga ikan di tengkulak dibeli dengan harga murah. “BBM yang naik, nelayan yang susah Mas. Modal melaut semakin tinggi, sementara harga ikan masih rendah. Inginnya harga ikan juga kan naik, supaya bisa seimbang,” tukas Udin, salah seorang nelayan pesisir Kota Cirebon, kemarin. Nelayan tidak bisa berbuat banyak, karena harga ikan yang dijual ke tengkulak tidak mengalami kenaikan. Sementara biaya modal bertambah dengan naiknya harga solar bersubsidi. Satu kali melaut mereka membutuhkan solar sekitar 200 liter untuk dua hari melaut. Apabila menghitung sebelum harga solar naik, nelayan hanya membutuhkan Rp1,1 juta. Setelah harga solar naik, mereka harus menambah modal sebesar Rp400 ribu. Hal ini membuat nelayan dilematis. Di satu sisi, mereka membutuhkan penghasilan untuk menafkahi keluarga, di sisi lain, apabila melaut mereka harus siap merugi. “Ya akhirnya kayak gini banyak yang nganggur, tapi ada juga yang memaksa melaut, karena kalau diam di rumah saja juga pusing,” keluhnya. Mereka ingin agar harga ikan juga ditetapkan oleh pemerintah. “Seharusnya kan kalau BBM naik, pemerintah juga bisa menetapkan kenaikan harga ikan, seperti tarif angkutan. Kalau kita kan harga masih ditentukan tengkulak, jadi kalau BBM naik itu yang paling pusing kita,” terangnya. Sementara bantuan kompensasi BBM naik pun, tidak sepenuhnya dirasakan para nelayan. Tata dan Edi, nelayan pesisir, mengaku belum pernah menerima bantuan kompensasi BBM. “Ya kalau kami sih lebih baik kompensasinya diberikan untuk subsidi solar saja, jadi kalau nelayan beli solar itu harganya bisa disubsidi,” ucapnya. Tak hanya itu, nelayan Cangkol, Mulyadi mengeluhkan sulitnya mendapatkan solar. Dikatakan dia, tidak semua SPBU melayani pembelian nelayan. “Kadang kita harus muter-muter dulu nyari solar, karena SPBU tidak melayani. Jadinya kan repot,” keluhnya. Ia mengaku tidak memperma­salah­kan kenaikan BBM. Sebab berbeda dengan nela­yan lain­nya. Pendapatan mereka ditopang juga dengan menye­wakan perahu kepada para wisata­­wan mancing mania. Satu kali melaut, tarif sewa perahu bisa mencapai Rp800 ribu hing­ga Rp1 juta. “Kalau kita sih gak maslah BBM naik, hanya solarnya ini yang sulit, harus nyari ke mana-mana,” ucapnya. PASAR TETAP BERGAIRAH Sementara itu, respons pasar atas kenaikan BBM dan sembako ini tidak terlalu signifikan mempengaruhi daya beli masyarakat. Pasalnya kondisi di sejumlah pasar tradisional masih ramai pengunjung. Salah seorang pedagang, Ahmad Tabroni mengatakan, meski ada kenaikan harga sejumlah komoditas tidak ikut mempengaruhi daya beli masyarakat. “Memang ada kenaikan, tapi kan naiknya bertahap, tidak sekaligus jadi tidak kaget. Saya rasa tetap saja, tidak menurunkan daya beli masyarakat. Di lapangan tidak ada perubahan dan gejolak. Soalnya ini kan kebutuhan pokok sehari-hari, kecuali untuk tarif angkutan yang memang terkena dampak secara langsung,” ujarnya kepada Radar, kemarin. Disebutkan dia, sejumlah komoditas sudah mengalami kenaikan beberapa pekan sebelum kenaikan BBM diumumkan. Seperti halnya rokok yang mengalami kenaikan. Produk-produk kemasan yang naik 2 persen. Gula pasir dari Rp8.400 menjadi Rp8.600, telur Rp18.500/kg dan beras yang mengalami kenaikan sebesar Rp200 per kg. “Naiknya gak terlalu signifikan sih, tapi gak tahu ke depan apakah ada kenaikan lagi atau tidak,” sebutnya. Pedagang sembako di Pasar Kanoman, Ibu Hj Udin memprediksi meskipun kenaikan sembako belum siginifikan tapi ia meyakini harga akan terus bergerak naik. “Kalau konsumen tetap ada, memang ada yang protes tapi tetap saja dibeli karena butuh sih,” ucapnya. Berbeda halnya dengan sembako, harga sayur mayur terutama cabai justru mengalami kenaikan lebih dari tiga kali lipatnya. Pedagang sayuran, Maman menyebutkan untuk harga cabai merah mencapai Rp50 ribu/kg dari sebelumnya Rp15.000, cabai rawit Rp50 ribu/kg, dan cabai kriting Rp50 ribu/kg. “Naiknya udah lama, karena stoknya sudah berkurang. Tapi pas ada kenaikan jadi semakin bertambah naik, setiap hari naiknya bisa mencapi Rp5.000,” katanya. Hal ini dipicu juga dengan kenaikan BBM. Menurut dia, sebenarnya pemicu utama karena minimnya stok cabai dari petani. “Karena lagi kosong aja, kalau lagi musim dan stok berlimpah harga juga akan turun lagi,” ulasnya. Kenaikan harga juga tak ikut menaikan harga makanan rakyat, tempe. Harga tempe masih tetap dijual dengan harga Rp 5.000 per batang. “Kalau tempe masih tetap harganya gak naik,” ucap Ema, pedagang tempe di Pasar Kanoman. (jml)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: