Faisal Basri Periksa Petral

Faisal Basri Periksa Petral

Tuntut Transparansi Ongkos Pengadaan BBM  JAKARTA - Tata niaga minyak dan gas (migas) Indonesia kerap dituding tidak efisien dan menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Untuk mengurai benang kusut tersebut, Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri segera memeriksa Pertamina Energy Trading Limited (Petral), anak perusahaan PT Pertamina (Persero) yang bermarkas di Singapura. Petral merupakan kepanjangan tangan Pertamina dalam trading BBM. Faisal menyatakan, pemerintah yang merupakan pemegang saham Pertamina akan bisa leluasa masuk menyelidiki Petral. Tim akan melihat potensi penyimpangan yang mungkin dilakukan Petral. “Ini menjadi prioritas. Satu dari empat poin yang diamanatkan pemerintah kepada tim. Pak Menteri sudah amanatkan dan beri keleluasaan ke saya,” kata Faisal di Kementerian ESDM, Jakarta, kemarin. Faisal juga meminta Pertamina lebih transparan dalam perhitungan harga keekonomian BBM nonsubsidi. Pertamina harus membuka data jumlah yang diimpor hingga biaya produksi BBM selama ini. Kalau data itu dibuka, bisa diketahui pasti elemen pembentukan harga BBM nonsubsidi. Faisal sudah menyampaikan permintaan tersebut ke Menteri ESDM Sudirman Said. Buka-bukaan itu sangat penting supaya pemerintah bisa membandingkan dengan negara lain. Dengan demikian, masyarakat akan tahu harga yang sebenarnya sehingga tidak lagi terjadi perdebatan soal harga BBM. “Saya menuntut Pak Menteri membuka ke publik. Pemerintah harus minta Pertamina untuk buka. Kita tahu harga premium Rp8.500. Yang kita tidak tahu, angka Rp8.500 untuk RON88 itu bagaimana menghitungnya,” ujarnya. Dalam penentuan harga premium dan solar, pemerintah selama ini menggunakan basis perhitungan yang telah disepakati bersama DPR, yakni patokan MoPS (Means of Platts Singapore). MoPS merupakan lembaga penilai harga minyak yang dibentuk Platt, anak perusahaan McGraww Hill Financial, Amerika Serikat. Formula perhitungannya, MoPS + alpha ditambah pajak pertambahan-nilai (PPN) dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB). Alpha adalah margin keuntungan yang besarannya ditentukan DPR. Perhitungan itu menjadi tidak transparan ketika dikaitkan dengan transparansi ongkos produksi. “Harga premium sudah Rp8.500, pertamax Rp9.950. Jadi, Rp9.500 sudah untung,” kata Faisal. Di tempat yang sama, pria asal Bandung itu juga meng­umum­kan tim reformasi yang ber­latar akademisi serta peja­bat Pertamina dan SKK Migas. Mereka yang bersiap memerangi mafia migas itu adalah mantan tim pokja transisi pemerintahan Darmawan Prasodjo, akademisi UGM Fahmi Radi, dan Rofikorohim dari UI. Lantas, ada Mas Agung Wicak dari UKP4, Daniel Purba (Pertamina), serta Parulian Sihotang (SKK Migas). Wakil ketuanya adalah ex officio dari Kementerian ESDM, yakni Plt Dirjen Minyak dan Gas Bumi Naryanto Wagimin. Susyanto yang menjabat Kabiro Hukum Kementerian ESDM dipercaya menjadi sekretaris. Faisal yakin telah memilih orang-orang yang tepat untuk bekerja bersama dirinya. Dia menegaskan integritas nama-nama itu sudah teruji. Pria yang pernah mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta melalui jalur independen tersebut memastikan tim bekerja ber­basis data. “Bukan dari rumor. Analisisnya tajam. Klir tanpa conflict of interest,” tegasnya. Di sisi lain, stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) milik perusahaan multinasional yang berfokus di pasar BBM tanpa timbal atau mulai oktan 92 mendapat berkah dari kenaikan harga BBM bersubsidi. Masyarakat mulai bergeser ke BBM nonsubsidi itu sehingga membuat pasar mereka semakin kompetitif. PT Shell Indonesia selaku pemilik SPBU Shell di tanah air, misalnya, mulai merasakan kenaikan penjualan. “Saya belum tahu angka pastinya karena ini kan belum lama terjadi (sejak harga BBM bersubsidi naik). Tapi, transaksi customer lebih padat akhir-akhir ini, terutama pada jam-jam peak season. Ini masih gambaran umum. Saya belum dapat persentase kenaikannya,” jelas Marketing Manager Shell Retail Julio Manuputty kepada Jawa Pos (Radar Cirebon Group) kemarin. Terlebih, dua hari lalu, harga BBM nonsubsidi kompak turun, baik itu milik Shell maupun Pertamina. Julio menilai, transisi konsumsi dari BBM bersubsidi ke nonsubsidi merupakan hal positif bagi negara secara umum karena bisa mengurangi ketergantungan pada subsidi. “Walaupun semestinya kalau mempertimbangkan kualitas bahan bakar, ya sudah seharusnya pakai oktan tinggi,” tegasnya. Penurunan harga, kata Julio, murni terjadi karena dampak turunnya harga minyak internasional. Pihaknya melakukan evaluasi harga setiap dua minggu sekali dengan mempertimbangkan dua hal, yaitu harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah. Lalu, apakah penentuan harga Shell mempertimbangkan Pertamina sebagai pesaing yang juga mengoreksi harga? “Kami punya perhitungan sendiri sih. Kadang kami duluan yang naikkan atau turunkan harga, kadang juga mereka duluan,” katanya. Meski begitu, kata dia, Shell tetap memperhitungkan faktor persaingan tersebut agar tetap bisa kompetitif. Terlebih, perusahaan migas asal Belanda itu hanya berfokus di pasar BBM nonsubsidi. “Saya tidak bisa komentar terlalu jauh terkait itu karena masing-masing perusahaan tentu punya pricing strategy. Ini sekarang rupiah mulai menguat lagi. Ya kami harapkan terus menguat supaya kami juga belinya lebih murah dan efeknya ke harga jual lebih murah,” ungkapnya. Sementara itu, berubahnya harga BBM bersubsidi maupun nonsubsidi tidak ditanggapi antusias oleh pengusaha SPBU yang tergabung dalam Himpunan Wiraswata Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas). Pengusaha saat ini lesu dalam menjalankan bisnis karena mengaku kurang diperhatikan pemerintah. “Saat BBM naik dari Rp4.500 ke Rp6.500, pemerintah memberi insentif Rp30 per liter. Saat ini tidak ada sama sekali,” ujar Ketua Hiswana Migas Eri Purno­mohadi mengeluhkan. Padahal, pengusaha diterpa meningkatnya biaya operasi dari berbagai aspek. Misalnya, upah, tarif dasar listrik, hingga inflasi. Dia menegaskan, pengusaha bukannya tidak sepakat dengan berbagai perubahan harga BBM. Untuk harga terbaru, misalnya, Hiswana Migas menyebutkan, tipisnya selisih harga BBM subsidi dan nonsubidi membuat pengoplosan atau penyelundupan berkurang banyak. Namun, naiknya harga BBM bersubsidi Rp2 ribu membuat margin tetap. Eri menyebutkan, pengusaha kehilangan Rp20 per liter. Menurut perhitungan dia, pemerintah perlu memberikan insentif ke SPBU non-Pertamina setidaknya Rp75 per liter. “Secara keseluruhan, pengusaha menderita bukan karena kenaikannya (harga BBM). Untuk kenaikan, bisa dipahami,” tegasnya. Hiswana Migas bukannya tinggal diam. Mereka sudah mengirim surat kepada pemerintah mengenai keluhan itu. Namun, hingga kini belum ada respons. (gen/dim/c5/sof)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: