Harga Minyak Dunia Anjlok

Harga Minyak Dunia Anjlok

DPR Klaim Premium Hanya Rp7 Ribu/Liter JAKARTA - Pergerakan harga minyak terus menjadi sorotan global. Keputusan kartel negara-negara pengekspor minyak (OPEC) untuk mempertahankan produksi 30 juta barel per hari, membuat harga minyak dunia anjlok ke level terendah dalam lima tahun terakhir. Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika mengatakan, anjloknya harga minyak dunia ini menjadi berkah bagi Indonesia yang merupakan net importer minyak. Imbasnya, beban subsidi pun bakal berkurang. “Bahkan, pemerintah bisa untung jual premium,” ujarnya kemarin (29/11). Kardaya memperkirakan, pada harga minyak di bawah USD 70 per barel, harga keekonomian BBM dengan angka oktan atau RON 88 jenis premium ada di kisaran Rp7.000 - 7.500 per liter, lebih rendah dibanding harga premium saat ini yang sebesar Rp8.500 per liter. “Mestinya ini jadi perhatian pemerintah,” katanya. Namun demikian, mantan kepala BP Migas ini mengakui jika perhitungan harga keekonomian premium bisa memunculkan angka yang berbeda-beda. Sebab, lanjut dia, saat ini BBM dengan angka oktan 88 jarang sekali dipakai di dunia internasional. “Hanya Indonesia yang masih pakai BBM kualitas rendah ini,” ucapnya. Sebagai gambaran, BBM jenis pertamax memiliki angka oktan 92, adapun pertamax plus beroktan 95. Di Malaysia, BBM dengan kualitas terendah yang dijual dan disubsidi pemerintah sudah menggunakan oktan 95 atau setara pertamax plus. Menteri Koordinator Pereko­­nomian Sofyan Djalil menga­takan, pemerintah juga terus memonitor pergerakan harga minyak dunia. Menurut dia, pemerintah masih memproyeksi harga minyak masih berpotensi rebound atau kembali naik. “Tapi, kalau misalnya (harga) turun terus, nanti akan ada policy (kebijakan) berikutnya,” ujarnya. Apakah policy itu berarti penurunan harga BBM? Sofyan enggan menjawab. Yang jelas, lanjut dia, kebijakan kenaikan harga baru diterapkan dalam dua minggu terakhir, karena itu yang dilakukan pemerintah saat ini masih dalam batas wait and see atau menunggu dan melihat situasi minyak di pasar global. “Pokoknya kita lihat nanti,” katanya. Harga kumpulan minyak negara-negara OPEC (basket OPEC) pada Kamis (27/11) lalu sudah menyentuh USD 70,80 per barel. Ini merupakan yang terendah sejak 25 Agustus 2010, saat itu harga minyak basket OPEC ada di level 70,00 per barel. Sementara itu, harga minyak jenis light crude untuk kontrak pengiriman Desember 2014 sudah menyentuh USD 68,8 per barel. Bahkan, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Januari 2015 sudah merosot hingga USD 66,15 per barel, terendah sejak September 2009. Terus menurunnya harga mi­nyak tidak membuat pemerintah gegabah menurunkan harga BBM. Menteri ESDM Sudirman Said misalnya, mengatakan ada pengkajian harga sesuai harga keekonomian. Tetapi, tidak serta merta harganya diturunkan karena itu butuh proses yang panjang. Meski demikian, peluang turunnya harga BBM masih ter­buka lebar. Asal, tidak kem­bali memberikan subsidi besar karena pemerintah ingin meng­gesernya ke sektor produktif. “Patokannya, tidak mungkin harga (BBM) subsidi melewati tarif keekonomian,” ujarnya. Di Istana Bogor, Menteri Keuangan Bambang Brodjo­negoro juga tidak mau berandai-andai apakah turunnya harga minyak diikuti dengan revisi BBM bersubsidi. Salah satu pertimbangannya adalah prediksi harga minyak dunia tahun depan.”Nggak tahu saya (apakah harga minyak turun terus). Kita kalau menghitung besaran subsidi harus tahunan, nggak bisa harian,” terangnya. Terpisah, soal terpilihnya Dwi Soetjipto sebagai Dirut Pertamina yang tidak memiliki background Migas mendapat dukungan dari beberapa anggota DPR. Satya Widya Yudha, Wakil Ketua Komisi VII dari Golkar misalnya, Dwi yang awam Migas justru dinilai sebagai nilai tambah. Itu membuat kesempatan Dwi tidak direcoki mafia Migas makin besar. “Tidak punya background Migas membuat dia tidak mungkin tidak bekerja. Justru bisa lebih mudah dan leluasa bekerja. Sama seperti yang terjadi pada Sudirman Said di ESDM dan Amin Sunaryadi di SKK Migas,” terangnya. Namun, kepercayaan Jokowi yang melihat kemampuan Dwi saat berhasil membawa PT Semen Indonesia ekspansi ke luar negeri menurutnya harus kembali dibuktikan. Pertamina butuh orang baru untuk bisa meningkatkan eksplorasi serta lifting. “Itu PR yang harus diselesaikan. Yang nggak kalah penting adalah, membasmi mafia Migas,” tegasnya. Sementara, Kurtubi, penga­mat Migas yang juga anggota Komisi VII DPR, tidak mem­permasalahkan background Dwi. Dia yakin Presiden Jokowi sudah memilih orang yang tepat karena Soetjipto dikenal cepat beradaptasi. “Memang nggak ada background. Pendidikannya juga nggak pernah bersentuhan. Tapi itu hak prerogatif presiden. Wajib belajar cepat karena kondisinya tidak sama dengan pabrik semen,” ujarnya. Ada dua agenda yang menu­rutnya harus segera dilakukan Dwi saat masuk kerja nanti. Pertama, segera menyesuaikan susunan organisasi dan sumber daya Pertamina. Dirut asal Surabaya itu dituntut bisa mela­kukan perubahan pembelian Migas langsung dari produsen tanpa melalui pihak ketiga. “Itu tidak mudah. Butuh organisasi baru,” terangnya. Yang kedua, Dwi harus mempercepat pembangunan kilang-kilang BBM baru yang menyebar di tanah air. Tidak boleh lagi pembangunan kilang hanya fokus di Jawa atau Kalimantan Timur saja. Sebagai mantan orang dalam Pertamina, Kurtubi tahu betul kondisi kilang-kilang itu. Dia lantas menyebut Lombok sebagai salah satu lokasi yang tepat untuk dibangunkan kilang baru. Alasannya, Selat Lombok sangat dalam sehingga cocok untuk dilewati tanker-tanker dari Timur Tengah. “Dari Lombok, bisa memper­pen­dek rantai distribusi BBM untuk Bali, kawasan Nusa Tenggara Timur dan Barat, serta Jawa Timur,” jelasnya. Kalau pembangunan kilang benar dijadikan prioritas, menurutnya baik kalau menunjuk direktur tersendiri. Selain itu, dalam kurun waktu kepemimpinan Dwi, diharap bisa melebur SKK Migas ke Pertamina. Baginya, SKK Migas tidak jauh beda dengan BP Migas yang telah dibubarkan Mahkamah Konstitusi. “Direksi saat ini memang masih tiga. Tapi, bisa bertambah kalau SKK Migas dilebur karena ada tugas tambahan,” jelasnya. Soal kilang, Indonesia me­mang sangat membutuhkan infra­strukut baru. Kondisi saat ini memang memprihatinkan. Menu­rut Sudirman Said, ada lima kilang dengan kemampuan produksi 1 juta barel per hari. Pada­hal, kebutuhan nyata tiap harinya adalah 1,6 juta barel. Defisit itu yang membuat Indonesia harus mengimpor sekitar 500-600 ribu barel per hari. Masalah tidak berhenti di situ, usia kilang yang tua juga membuat kilang tidak pernah mencapai kapasitas maksimum. Rata-rata, cuma bisa 700-800 ribu barel per hari. “Jadinya, kilang cuma bisa menyimpan selama 18 hari dan kemampuannya terus menerus sejak sepuluh tahun terakhir,” katanya. Fakta itu membuat kebutuhan belanja minyak Indonesia menjadi sangat besar. Ujung-ujungnya, jadi sering dipermainkan oleh pasar. Dia ingin kapasitas bertambah sehingga stok minyak bisa bertahan hingga 30 hari. Untuk mengubah semua itu, menurut Sudirman tidak bisa cepat dan membutuhkan waktu dua atau tiga tahun. Dwi sendiri tidak mengangkat teleponnya saat dikonfirmasi soal kecakapannya memimpin Pertamina tanpa latar belakang Migas. Sebelumnya, dia hanya memastikan terus bekerja karena tugas yang diamanatkan padanya sangat berat. “Kami bertekad melanjutkan transformasi Pertamina, meningkatkan kinerja perusahaan secara lebih efisien dan kompetitif,” tegas Dwi. (owi/dim)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: