Perlu Perppu untuk Hapus Kartu TKI

Perlu Perppu untuk Hapus Kartu TKI

JAKARTA - Keputusan mendadak Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghapus Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) usai bertelekonferensi dengan TKI akhir pekan lalu membawa konsekuensi perlu dibuatnya payung hukum. Sebab, kartu yang dikeluhkan banyak TKI karena justru kerap menjadi ajang pemerasan itu merupakan amanat pasal 62 ayat (1) UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Dalam pasal tersebut disebutkan klausul yang mewajibkan TKI memiliki dokumen KTKLN yang diterbitkan pemerintah.”Meski secara prinsip sudah tepat, namun ada hal yang juga prinsip tampaknya diabaikan oleh presiden,” kata anggota Komisi IX DPR Okky Asokawati dalam keterangannya di Jakarta kemarin (1/12). Menurut legislator PPP itu, sebelum membuat keputusan, presiden harusnya terlebih dulu menyiapkan payung hukum. Hal itu diperlukan agar langkah presiden sesuai dengan aturan perundang-undangan. Dia menyebut, salah satu payung hukum yang paling mungkin saat ini adalah penerbitan Peraturan Pemerin­tah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Selain itu, Okky menambahkan, Perppu yang akan diterbitkan nanti juga tetap harus mencantumkan mekanisme pendataan bagi para TKI. Dia menegaskan, pendataan tetap merupakan sesuatu yang penting. Di antaranya, untuk melakukan kontrol atau komunikasi antara pemerintah dengan para TKI di tempat kerjanya masing-masing. “Salah satu aspek perlindungan negara pada warga negaranya yang bekerja di luar negeri adalah melalui pendataan yang akurat,” bebernya. Menanggapi soal payung hukum tersebut, Kepala Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan TKI (BNP2TKI) Nusron Wahid mengakui, keputusan presiden soal kartu TKI tersebut belum memiliki payung hukum. Meski demikian, dia menegaskan, pemerintah akan segera menindaklanjutinya. Dia menyatakan, Kementerian Sekretariat Negara bersama menteri-menteri terkait lainnya akan membahas opsi paling pas untuk ditempuh pemerintah. Selain kemungkinan mengeluarkan Perppu, pemerintah juga bisa menginisiasi revisi UU. “Prinsipnya akan dilakukan secepatnya,” imbuh Nusron. Terpisah, mantan mensesneg di era pemerintahan Presiden SBY Yusril Ihza Mahendra secara umum hanya mengingatkan agar setiap produk perundang-undangan nantinya jangan sampai tabrakan satu dan lainnya. Dalam hal penugasan pembahasan RUU di parlemen, menurut dia, ada baiknya menteri teknis nantinya senantiasa didampingi menkum HAM. Bahkan, jika perlu, lanjut dia, presiden bisa mengangkat wamenkum HAM bidang perundang-undangan agar lebih fokus tangani pembangunan norma hukum. “Dan, presiden harus sediakan waktu sedikitnya 3 jam sehari untuk membaca setiap laporan bawahan, intelijen, dan surat-surat masuk,” saran Yusril. Semua input tersebut, imbuh pakar hukum tata negara itu, sudah disortir dan dibuat summary dan telaahan oleh mensesneg untuk mengurangi beban presiden. (dyn/sof)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: