Laksamana Masih Bela Megawati

Laksamana Masih Bela Megawati

Diperiksa KPK 8 Jam Terkait SKL Obligor BLBI Sjamsul Nursalim JAKARTA - Ketenangan Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri kembali terusik. Ini setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memulai lagi penyelidikan dugaan korupsi pada penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang terjadi di masa pemerintahannya. Kemarin, selang sehari setelah hari peringatan anti-korupsi sedunia, KPK memanggil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Laksamana Sukardi. Orang kepercayaan Megawati semasa jadi presiden itu dimintai keterangan selama sekitar delapan jam. Ketika meninggalkan gedung KPK sekitar pukul 18.22 kemarin petang, Laks, panggilan akrab Laksmana, mengaku banyak dicecar soal pemberian SKL kepada salah satu obligor, Sjamsul Nursalim yang merupakan pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). “Pemeriksaan tadi melengkapi informasi yang masih akan didalami oleh penyidik. Salah satunya terkait SKL-nya Sjamsul Nursalim,” ujar pria 58 tahun itu di Gedung KPK, Jakarta. BDNI termasuk obligor BLBI yang mendapat SKL yang dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Inpres No 8 Tahun 2002 saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri. Padahal, BDNI termasuk obligor yang paling rendah tingkat pembayarannya. Sjamsul Nursalim baru membayar 17,4 persen dari total kewajiban Rp28,4 triliun. Atas diberikannya SKL kepada Sjamsul, Kejaksaan Agung akhirnya menghentikan penyidikan (Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau SP3) termasuk terhadap sejumlah pengutang lainnya dalam kasus BLBI. Para obligor dianggap sudah melunasi utangnya, padahal pada kenyataanya utang senilai triliun rupiah belum dilunasi. Kendati kejanggalan sudah terang benderang, Laks masih ngotot membela kebijakan presiden Megawati. Menurut mantan petinggi Bank Lippo itu, tak ada kenjanggalan terhadap pemberian SKL terhadap 22 obligor tersebut. Laks bersikukuh bahwa SKL sudah ditetapkan melalui TAP MPR, bahwa Presiden Megawati diperintahkan segera memberikan kepastian hukum untuk menyelesaikan kasus BLBI. Laksamana meyakini, keputusan Megawati berdasarkan sidang kabinet terkait pemberian SKL, sudah sesuai amanat TAP MPR Nomor 10 Tahun 2000. Pemberian SKL itu sebagai insentif bagi obligor yang koperatif untuk melunasi utang sebagaimana dalam Undang-Undang Program Pembangunan Nasional. Karena itu, menurut Laks, keputusan yang diambil saat itu merupakan produk konstitusi. “Jadi semangat dari pada Undang-Undang dan TAP MPR pada saat itu untuk memberikan insentif kepada obligor yang kooperatif dan memenuhi kewajiban,” tambah dia. Laks menyebutkan, ada 8-9 obligor yang memilih kabur ke luar negeri daripada tetap tinggal di Indonesia untuk melunasi kewajiban utangnya. “Ada juga obligor yang lari yang tidak mau menandatangani apa-apa. Itu juga sampai sekarang saya kira mereka masih bebas,” imbuhnya. Dalam hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dari dana BLBI sebesar Rp 144,5 triliun yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, sebanyak Rp 138,4 triliun dinyatakan merugikan negara. Sedangkan dalam audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap 42 bank penerima BLBI menemukan penyimpangan sebesar Rp54,5 triliun. Sebanyak Rp53,4 triliun merupakan penyimpangan berindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan. Namun, ketika disinggung soal kerugian negara tersebut, Laksmana menjawab enteng. “Itu sudah lagu lama lah “ ujarnya. Laks setuju jika nantinya KPK mengejar keterangan dari para obligor yang lari. “Saya kira KPK perlu ke sana. Saya juga melihat aneh, para obligor yang tidak kooperatif saat terjadi pergantian pemerintahan justru mendapatkan red carpet,” ujar Laks tanpa menyebut siapa orang yang dimaksudnya. Dalam mekanisme penerbitan SKL tersebut, selain mendapat masukan dari Laksamana selaku Menteri BUMN, Megawati juga mendapatkan pertimbangan dari mantan Menteri Keuangan Boediono dan mantan Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjarajakti. Sekadar informasi, Laksamana Sukardi sudah pernah diperiksa KPK pada 11 Juni 2013. Pada saat itu, Laks mengaku dimintai keterangan terkait sidang kabinet era Presiden Megawati Soekarnoputri yang membahas penerbitan SKL BLBI. SKL tersebut kemudian menjadi dasar bagi Kejaksaan Agung untuk menghentikan penyidikan (Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau SP3) kasus BLBI terhadap sejumlah pengutang, termasuk terhadap Sjamsul Nursalim. Tercatat beberapa nama konglomerat papan atas lainnya juga menikmati SKL yang diteken Presiden Megawati, seperti The Nin King, dan Bob Hasan, yang telah mendapatkan SKL dan sekaligus “release and discharge” dari pemerintah. Dalam menyelidiki kasus ini, KPK sudah pernah memeriksa Menteri Keuangan era Presiden Adurahman Wahid, Rizal Ramli, Menko Perekonomian Bambang Subiyanto 1999-2000, mantan Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjarajakti, Kepala Bappenas 2001-2004 Kwik Kian Gie, bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta, dan bekas Menteri Perindustrian dan Perdagangan yang kini menjadi Menteri BUMN Rini Soemarno. Tantangan KPK Kasus BLBI memang menjadi kasus kakap yang mempertaruhkan kredibilitas KPK selain kasus Bank Century. Ketua KPK Abraham Samad sempat menegaskan, lembaganya akhir tahun ini akan fokus mengerjakan penyelidikan kasus BLBI. Bahkan dia sempat sesumbar berani memanggil sejumlah petinggi negara, termasuk mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Wakil Ketua KPK Zulkarnain mengatakan pemanggilan Laksamana Sukardi diperlukan untuk mendalami kasus dari sudut pandang seorang ahli. “Keterangannya dibutuhkan untuk pendalaman kasus yang cukup rumit karena berkaitan dengan kebijakan perbankan,” ujarnya. Sebagai seorang mantan menteri BUMN, Laks dinilai punya kapabilitas memberikan masukan terhadap kebijakan turunnya SKL. Selain memeriksa orang lingkaran satu mantan Presiden Megawati, KPK juga telah melakukan sejumlah tindakan. Salah satunya pencegahan terhadap seseorang pengusaha bernama Lusiana Yanti Hanafiah. Entah apa kaitan nama itu dengan perkara BLBI, Juru Bicara KPK ketika itu hanya menyebut Lusiana berstatus pihak swasta.(gun/dim/kim)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: