Ancaman Banjir Menjadi Kenyataan

Ancaman Banjir Menjadi Kenyataan

Satu Pekan, Empat Kecamatan Terendam Musim hujan di wilayah timur Cirebon (WTC) masih akrab dengan banjir. Masalah tahunan banjir kiriman hingga kini tak pernah bisa teratasi. Upaya normalisasi saluran dan berbagai proyek di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) seolah tak berbekas ketika luapan air menerjang permukiman warga. PENINGKATAN curah hujan dalam satu pekan belakangan ini langsung merusak sejumlah infrastruktur sungai. Yang terbanyak adalah tanggul jebol. Kondisi tanggul di sepanjang aliran Sungai Cisanggarung dan anak-anak sungai di sekitarnya memang sudah kritis. Warga pun sudah jauh-jauh hari menyampaikan kekhawatirannya. Benar saja, begitu hujan deras turun di Kabupaten Kuningan, luapan air di daerah aliran sungai yang membuat rontok tanggul-tanggul kritis. Dalam catatan koran ini, sedikitnya sudah empat kecamatan yang terendam seperti, Waled, Losari, Pangenan dan Astanajapura. Pantauan Radar pasca banjir, tanggul Sungai Cisanggarung di Desa Losari Kidul, Kecamatan Losari, kerusakannya bertambah parah. Tanggul yang bocor dibiarkan bertahun-tahun tanpa perbaikan. Penurunan kekuatan tanggul inilah yang menyebabkan air limpas. Kondisi serupa terjadi pada tanggul Sungai Cimanis di Blok Kalibangka, Kecamatan Losari. Empat desa terendam banjir kiriman lantaran tanggul tak mampu menahan derasnya aliran air. Sementara di Sungai Ciberes yang melintasi Kecamatan Waled, masalah pendangkalan dan tak kunjung dilakukannya normalisasi menyebabkan Desa Ciuyah dan sekitarnya kebanjiran. Kuwu Ciuyah Kecamatan Waled, Caswadi mengatakan, setiap musim hujan desanya bisa mengalami banjir tak kurang dari sepuluh kali. Ketinggian air yang masuk ke permukiman rata-rata satu meter. Sebagai kuwu, dirinya sudah berulang kali meminta normalisasi. “Selama Sungai Ciberes tidak dikeruk, ya selamanya kami kebanjiran. Saya sudah berulang kali mengirimkan surat permohonan, tapi sampai sekarang tidak pernah dinormalisasi,” tuturnya. Tokoh masyarakat Desa Losari Kidul, Dedi Sumantri mengungkapkan, dalam dua pekan terakhir desanya sudah dua kali kebanjiran. Banjir tentu menyebabkan warganya kesal, sebab kerugian material seringkali terjadi. “BBWSCC (Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk Cisanggarung) yang mengurusi sungai kemana saja? Ini bisa banjirkan gara-gara tanggul bocor, sedangkan ini bocor sudah bertahun-tahun tapi tidak juga dilakukan perbaikkan,” katanya. Menurut dia, wajar warga di desanya murka terhadap BBWSCC. Setiap tahun ketika ada usulan, BBWSCC selalu menjawab terkendala anggaran. Padahal, usulan disampaikan bukan satu atau dua kali saja. Bertahun-tahun pemdes mengajukan perbaikan tanggul dan tak pernah ada jawaban. “Satu, dua tahun okelah alasan anggaran, tapi ini sudah bertahun-tahun kan kelewatan,” ujar Dedi. Kuwu Desa Losari Kidul, Daruti juga mengaku sudah berulang kali mengajukan surat permohonan perbaikkan tanggul. Sebagai pemimpin di desa, dirinya sudah gerah dengan musibah banjir yang terus menerus menimpa desanya. Dirinya juga kesal lantaran tak ada upaya dari pemerintah untuk setidaknya meminimalisasi kemungkinan banjir. Lantaran terbatasnya anggaran di desa, Daruti hanya mengupayakan pengadaan pompa air. Pompa air ini untuk mempercepat banjir surut dengan menyedot air dari permukiman warga. Pemerhati lingkungan, Deddy Majmoe berpendapat, bajir di wilayah timur tidak hanya disebabkan kerusakan tanggul. Ada masalah lain yang harus dibenahi yakni daerah tangkapan air semakin minim. Masalahnya, daerah tangkapan air ini berada di Kabupaten Kuningan. “Kerusakan daerah tangkapan air ini disebabkan galian pasir di Kuningan. Sebagus apapun tanggul, kalau daerah tangkapan air rusak, banjir susah untuk dihindari,” katanya. Deddy mengkritisi Pemkab Cirebon yang tidak pernah melakukan kegiatan mitigasi bencana. Pemkab juga tak segera membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Padahal, banyak wilayah di Kabupaten Cirebon yang rawan bencana baik banjir maupun longsor. Kegiatan mitigasi bencana, sangat diperlukan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat. “Ajarkan kemasayarakat bagaimana cara untuk mengurangi risiko bahaya banjir, itu sangat perlu. Pemkab Cirebon sangat bertanggung jawab terhadap hal ini,” tegasnya. PEMKAB TAK TAHU ADA BANJIR Ironisnya, banjir yang terjadi di sejumlah wilayah di timur Kabupaten Cirebon, ternyata tak diketahui Pemerintah Kabupaten Cirebon. Sekertaris Satuan Pelaksana (Satlak) Bencana Alam Pemkab Cirebon, Zaenal Abidin mengaku, belum ada laporan terkait musibah banjir. “Belum ada bencana seperti banjir maupun longsor, ada juga di Desa Ciuyah. Itu hanya lewat, tidak sampai merendam rumah,” kata Zaenal, kepada Radar, Minggu (21/12). Kendati demikian, pihaknya sudah melakukan persiapan dan koordinasi dengan sejumlah organisasi perangakat daerah (OPD) serta para camat untuk menanggulangi bencana. Terkait upaya mitigasi, menurut Zaenal, Satlak Bencana telah menyusun proyeksi kader penanggulangan bencana di setiap kecamatan dan desa. Tugas kader ini diantaranya ialah menetapkan lokasi pengungsian, hingga membut peta kawasan rawan bencana. Dalam satlak ini, seluruh OPD tergabung dan siap turun saat terjadi bencana. Bahkan, dinas pendidikan tergabung dalam satlak ini untuk penanganan sekolah yang rusak. Kemudian, dinas sosial, dinas kesehatan dan yang lainnya juga ikut tergabung. Meski demikian, Zaenal mengungkapkan bahwa bencana di Kabupaten Cirebon termasuk dalam kategori rendah. Banjir biasanya bisa surut dalam hitungan jam. Kemudian untuk longsor, selama ini selalu memberikan tanda-tanda sehingga dalam penanggulangannya lebih mudah. “Tahun lalu banjir di kita itu sebenarnya kiriman dari Indramayu kemudian langsung surut kurang dari sehari. Tapi memang menggenangi sawah, itu yang jadi masalah karena memang dataran rendah,” kata dia. (deny Hamdani/samsul huda)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: