Bisa Saja Berujung Gugatan

Bisa Saja Berujung Gugatan

SELAIN komposisi nama yang berubah, waktu pelaksanaan mutasi juga terus berubah. Hal ini terkait dengan keputusan wali kota yang akan melantik mutasi. Secara hukum, ama­nat dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang Perubahan Kelembagaan dilakukan saat keadaan normal. Dengan sakitnya pemegang kebijakan tertinggi di Kota Cirebon, mutasi dapat bergeser saat wali kota sembuh atau Januari 2015. Tujuannya, agar surat kepu­tusan (SK) mutasi yang ditan­­datangani bebas gugatan. Pengamat hukum tata negara Agus Dimyati SH MH mengatakan mutasi tidak harus digelar Desember 2014 ini. Sebab, wali kota selaku pemegang kebijakan tertinggi dalam mutasi dalam kondisi sakit. Sebenarnya, secara aturan hukum tata negara, tidak ada persoalan dengan amanat perda perubahan kelembagaan itu. “Mutasi digelar Januari sekalipun tidak menjadi persoalan,” ucapnya, Jumat (26/12). Secara aturan, wali kota harus dalam keadaan sehat saat menandatangani surat keputusan (SK) mutasi. Pasalnya, ujar dosen hukum administrasi negara ini, jika dalam kondisi sakit yang tidak memungkinkan berpikir jauh dan mendalam, kemudian SK ditandatangani, akan menimbulkan posisinya dalam kondisi tidak cakap hukum. Sehingga, kata Agus Dimyati, SK mutasi yang dihasilkan rawan gugatan. “Kalau saya pejabat yang tidak masuk gerbong mutasi hasil SK Desember, akan saya gugat dan menang,” ucap pria yang juga akademisi Unswagati ini. Dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) disebut­­kan syarat sah kesepa­katan atau perjanjian. Termasuk pula di dalamnya surat keputusan yang unsur-unsurnya wajib dipenuhi. Di antaranya kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Yakni, setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. “Ini syarat subyektif. Jika suatu perjanjian atau keputusan tidak memenuhi syarat subjektif, dapat dibatalkan,” terangnya. Arti dapat dibatalkan, jika ada gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan hakim mengabulkan, SK otomatis tidak berlaku. Dengan demikian, kata Agus Dimyati, jika wali kota dalam keadaan sakit kategori berat, SK yang ditandatangani bisa dianggap tidak sah secara hukum. Terkait pelang­garan Perda Peruba­han kelembagaan yang menye­butkan pengisian tiga staf ahli di 2014, hal itu berlaku jika wali kota selaku pemegang kebija­kan tertinggi dalam keadaan sehat. Sebaliknya, lanjut Agus Dimyati, kondisi sakit dan tidak memungkinkan dapat pula termasuk kategori force majeur atau di luar dugaan. “Lebih baik tunggu wali kota sembuh. SK yang ditandatangani lebih kuat dari gugatan,” usulnya. Selain itu, mutasi sepenuhnya hak preogratif wali kota. Tim Badan Pertimbangan Kepangkatan dan Jabatan (Baperjakat) hanya mengusulkan. Keputusan akhir, ujarnya, ada di tangan wali kota. (ysf)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: