Ekspedisi Sunan Gunung Jati 2

Ekspedisi Sunan Gunung Jati 2

Masyarakat Banten Menyebutnya Raja Legendaris Perjalanan menapaki jejak dakwah Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati di Banten, cukup rumit. Karena banyak versi berbeda tentang periwayatan jejak Sunan Gunung Jati di Banten. Berikut lanjutan laporan wartawan Radar Cirebon, Husain Ali, yang menapaktilasi jejak Sunan Gunung Jati. Menurut Yadi Ahyadi, kepala bidang konservasi naskah kuno, Laboratorium Bantenologi IAIN Sultan Maulana Hasanudin Banten, tidak banyak jejak Sunan Gunung Jati di Banten. Pihaknya juga membenarkan jika banyak versi berbada tentang periwayatan Sunan Gunung Jati di banten. “Kalau versi bisa dikatakan sampai seribu versi,” ucapnya mengawali pembicaraan kepada Radar, Senin (14/11). Yadi hanya memastikan, tahun 1526 menandai perubahan kekuasaan dari kerajaan sunda yang meliputi Kerajaan Padjajaran, Galuh, Pakuan, termasuk Banten Girang ke Islam tanpa adanya pertempuran. “Yang ada hanya adu kesaktian. Buktinya tidak ada senjata yang berserakan di keraton,” katanya. Yadi mengatakan, merujuk catatan Tom Piers dari Portugis menggambarkan, sekitar tahun 1511 M, ada lima pelabuhan di Banten yang ramai dan sudah banyak komunitas muslim. Yadi menyebutkan, Pelabuhan Cigidi, di Tanjung Pujut, Desa Salirah, Pulo Ampel, Kabupaten Serang, Pelabuhan Karang Ratu di Banten Lama Kota Serang, Pelabuhan Kontang di Kecamatan Kontang Kabupaten Serang, Pelabuhan Tanarah di Kabupaten Serang, Pelabuhan Kalapa di Kecamatan Mauk Kabupaten Tangerang. Menurut Yadi, diduga kuat karena sekitar tahun 1460, Sunan Ampel dan kedua santrinya yakni Soleh dan Idris sudah melakukan pendaratan di Cigidi. Yadi juga mengatakan, kedua santri itu juga nantinya turut membantu dakwah Sunan Gunug Jati. “Sunan Ampel mengirimkan beberapa santrinya ke pelabuhan-pelabuhan di Jawa untuk mengawal pedagang muslim. Kini Ki Soleh makamnya di Mangun Reja, Kecamatan Pulo Ampel, Kabupaten Serang, dan Ki Idris makamnya di Gunung Santri, Bojonegara, Kabupaten Serang,” katanya. Yadi mengatakan, kedatangan Sunan Gunung Jati ke Banten sekitar tahun 1478, merupakan periode ke-2 setelah sebelumnya sempat singgah dalam perjalanannya ke Jawa Dwipa dari tanah Arab. Saat di Banten, menurutnya, Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Kawung Anten, yang memiliki dua putra, yakni Sabakinging (Sultan Hasnudin) dan Ratu Winaon. “Setelah menikah, Nyi Kawung Anten diboyong ke Cirebon. Setelah Sabakingking beranjak dewasa dibawa Sunan Gunung Jati ke Banten,” ucapnya. Terkait tahun, Yadi mengatakan belum diketahui secara persis yang disebutkan dalam naskah-naskah yang menceritakan hal trsebut. “Yang jelas, saat Sabakingking berusia dewasa dibawa ke Banten. Kemudian pada tahun 1526 M, kekuasaan wilayah Banten diserahkan ke Sabkingking. Dan tahun 1552, Sultan Hasnudin didaulat menjadi Sultan pertama Kesultanan Banten,” katanya. Sejak kekuasaan diserahkan ke Sabkingking atau Sultan Maulana Hasnudin, Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon dan menyebarkan agama di tatar Sunda. “Kalau ke Banten hanya sifatnya komunikasi dan menengok perkembangan putranya,” tuturnya. Terkait jejak Sunan Gunung Jati di Banten Lama, pusat dakwah dilakukan di kampung Masjid Pecinaan, yang semula dibangun komunitas muslim Tiong Hoa. Masjid Pecinaan merupakan masjid tertua kawasan Banten Lama, sebelum dibangunnya Masjid Agung Banten. Sekarang terletak di Desa Pamengkang, Kecamatan Kramatwatu, Kabupaten Serang yang berbatasan dengan Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, tepatnya di kampung Dermayon. “Sejak Kesultanan Maulana Yusuf, penempatkan masyarkat sesuai dengan etnis dan keahlian. Kampung Dermayon, karena masyarakatnya di sana nelayan,” kata Yadi. Saat ke lokasi Masjid Pecinan, tidak ada kuncen mapun penja­ga bangunan yang ma­suk­ benda cagar budaya terse­but. Hal itu terlihat pada plang yang yang bertuliskan “Benda Cagar Budaya”. Yang ada hanya kambing-kambing milik masyarakat yang sedang menikmati rumput yang tumbuh liar di lokasi masjid. “Saya juga tidak tahu siapa kuncennya,” ujar Ramli yang sedang menggembala kambing miliknya saat ditemui Radar. Sementara kampung pecinan sendiri sudah bergeser ke Kota. Sekarang lokasi Mesjid Pecinan didominasi warga Dermayu yang beranak pinak disitu. Sehingga masyarakat Banten sekarang lebih mengenal Desa Pamengkang, Kecamatan Kramatwatu, Kabupaten Serang, dengan sebutan kampung Dermayon. Selain di Banten Lama, menurut Yadi, jejak Sunan Gunung Jati berdakwah terdapat di Keraton Banten Girang, yang merupakan kota administrasi Kerajaan Sunda. “Nyi Kawung anten merupakan putri dari Pucuk Umun Banten Girang. Namanya kalau tidak salah Surowijaya. Yang juga kakak beradik dengan dengan Surosoan dan Surowesesa,” katanya. Selain di Banten Lama, menurut Yadi, jejak Sunan Gunung Jati berdakwah terdapat di Keraton Banten Girang, yang merupakan kota administrasi Kerajaan Sunda. “Nyi Kawung anten merupakan putri dari Pucuk Umun Banten Girang. Namanya kalau tidak salah Surowijaya. Yang juga kakak beradik dengan dengan Surosoan dan Surowesesa,” katanya. Terpisah, menurut Abdu Hasan, selaku kuncen Situs Banten Girang, Kerajaan Padjajaran Banten, sedikit berbeda. Menurutnya, Sunan Gunung Jati memulai mengislamkan Banten di daerah Banten Girang, sekitar tahun 1517. Sekarang Banten Girang, berada di kampung Tirtalaya, Kelurahan Serang, Kecamatan Serang, Kota Serang. Abdu Hasan menceritakan, Prabu Jaya Dewata yang Raja dari Kerajaan Padjajaran Banten yang beribu kota di Banten Girang yang berkuasa sekitar tahun 1482-1521, memiliki patih bernama Ajarju. Ajarju memiliki saudara bernama Ajarjong atau yang sekarang dikenal dengan Mas Jong Agus Ju. Pada saat itu patih Ajarju memohon kepada Prabu Jaya Dewata agar saudaranya yang bernama Ajarjong diangkat menjadi Tumeggung. Karena selama berada di Kerajaan Padjajaran Banten bertugas sebagai penjaga pintu gerbang. “Peristiwa itu sekitar tahun 1517-an,” ujarnya. Namun Prabu Jaya Dwipa justru mengangkat pejabat-pejabat kerajaan dari kalangan keluarganya. Sampai saat akhirnya kedudukan Ajarju terdesak kedudukannya dan ke luar dari Kerajaan Padjajaran Banten, ke Demak. “Ajarju memandang sang raja berlaku tidak adil,” katanya. Sementara saat di Demak masa Sultan Trenggono Ajarju diterima dengan baik. Perilaku orang-orang Demak sangat toleran dengan orang-orang asing yang membuat nyaman Ajarju dan merasa terayomi. “Pada saat yang sama, Sultan Trenggono memerintahkan Raden Fatahilah agar mengislamkan Padjajaran Banten. Dan memohon bantuan ke Ajarju sebagai rang Banten se­bagai penunjuk jalan. Ajarju me­respon dengan baik,” katanya. Karena sebelumnya Ajarju sebagai patih, sehingga sudah mengetahui kelemahan-kelamahan Kerajaan Padjajaran Banten. Menurut Abdu Hasan, Ajarju menginformasikan, jika setiap setahun sekali Raja Jaya Dewata melakukan ritual bersemedi di Gunung Pulo Sari. Sekarang Kecamatan Mandalawangi, Kabupaten Pandeglang. “Kesempatan itu, dimanfaatkan pasukan Fatahilah dan Ajarju untuk melakukan ekspedisi ke Banten Girang untuk menguasai ibu kota Kerajaan Padjajaran Banten,” katanya. Sehingga Abdu Hasan membenarkan, jika penguasaan Ibu Kota Kerajaan Padjajaran Banten tanpa ada perlawanan. Karena menurutnya, pada saat itu gerbang kerajaan masih dijaga oleh saudaranya yang bernama Ajarjong. Setelahnya Kerajaan Padjajaran Banten dikuasai Fatahilah, maka rakyat yang berada diluar lingkaran kerajaan, melaporkan ke Prabu Jaya Dewata yang sedang bersemedi di Gunung Pulosari. Prabu Jaya Dewata mendengar berita tersebut, tidak mau turun. Pada titik ini, Abdu Hasan menyebut Raden Fatahilah sama dengan Sunan Gunung Jati atau Syekh Sayrif Hidayatullah. Sunan Gunug Jati, lanjut Abdu Hasan, kemudian mengutus tahananan ke Prabu Jaya Dewata untuk melakukan lobi perdamaian. “Karena seorang waliullah tidak mau mengganggu jalan hidup orang lain,” kata Abdu Hasan. Menurutnya Sunan Gunung Jati menawarkan ke Prabu Jaya Dewata untuk kembali ke keraton menjadi raja, dengan sarat masuk Islam. Namun saat utusan kembali mendapat jawaban Sunan Gunung Jati harus menghadap sendiri ke Gunung Pulosari. Akhirnya Sunan Gunung Jati bertandang ke Gunung Pulosari, tapi ternyata Prabu Jaya Dewata lari ke hutan. “Karena merasa dilecehkan, Sunan Gunung Jati mengucap sampe pucuking umun-umun moal kudu Islam. Yang artinya kurang lebih, sampai kapanpun tidak akan masuk agama Islam,” ucapnya. Daerah pelarian Raja Jaya Dewata dikenal dengan sebutan Badui Citorek, yang anak keturunannya enggan masuk Islam sampai sekarang. “Saat itu Raja Jaya Dewata diekenal olah orang-orang Islam dengan sebutan Prabu Pucuk Umun,” katanya. Sekitar tahun 1537, Kerajaan Padjajaran Banten, yang beribu kota di Banten Girang dipindahkan ke Surosoan. “Sultan Maulana Hasnudin dikukuhkan pada tahun 1552 diangkat menjadi Sultan banten pertama. Sejak Sultan Maulana Hasanudin menjadi Sultan Banten sampai sekitar tahun 1570 M, sebagian masyarakat wilayah Banten masih tidak mengakui adanya kerajaan Islam,” kata Abdu Hasan. Karena pejuangannya, masya­rakat Banten menyebut Patih Ajarju sebagai patih legendaris. Begitu juga Sunan Gunung Jati karena orang yang pertama berhasil mengislamkan Kera­jaan Padjajaran Banten. “Sunan Gunung Jati tidak mengatakan demikian, tapi masyarakat Banten yang menyebutkan,” pungkasnya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: