Anas-SDA Ingin Ikuti Jejak BG

Anas-SDA Ingin Ikuti Jejak BG

PUTUSAN PN Jakarta Selatan dikhawatirkan berdampak pada makin sulitnya proses penegakan hukum. Putusan yang diraih BG memberi “inspirasi” banyak para tersangka korupsi yang ingin mengikuti jejaknya dengan mengajukan praperadilan terhadap KPK. Baik tersangka yang ditetapkan Polri, KPK maupun Kejaksaan untuk mencari keringanan atau malah lepas dari jeratan hukum. Anas Urbaningrum mungkin salah satu yang bakal memanfaatkan momentum ini. Kuasa Hukum Anas, Firman Wijaya saat dikonfirmasi mengakui, praperadilan itu menunjukan bagaimana KPK memiliki kelemahan dalam menjalankan tugasnya. KPK juga terbukti melakukan abouse of power. “Itu juga yang terjadi dalam kasus Anas Urbaningrum,” ujarnya. Menurut dia, kasus Anas dan BG ada beberapa kemirip­an. Yakni adanya upaya memak­sakan mengarahkan kon­flik politik ke pidana. “Wak­tu itu kan Anas mau menanda­tangani sebagai calon legislatif, se­dangkan ini BG mau dicalon­kan sebagai Kapolri,” jelasnya. Firman menjelaskan, sebe­narnya sejumlah kejanggalan sudah terungkap dalam kasus kliennya. Mulai bocornya sprindik sampai penulisan sprindik yang tidak jelas. Adanya kalimat “dan proyek-proyek lainnya,” yang dianggap KPK belum yakin benar atas perkara yang disangkakan. Firman mengatakan, materi-materi itu sebenarnya sudah kami ajukan sebagai bukti dalam persidangan maupun saat banding. “Tapi hakim sepertinya tidak melihat itu. Nah, padahal kan harus ada equality before the law. Kalau BG bisa seperti itu, kenapa kami tidak ?” ujarnya. Oleh karena itu, kini kubu Anas mulai percaya diri membawa bukti-bukti kejanggalan KPK saat mengajukan kasasi nanti. Upaya yang sama juga sedang direncanakan mantan Menteri Agama Suryadharma Ali (SDA). Melalui kuasa hukumnya, Andreas Nahot Silitonga, SDA mengatakan tim hukum akan mempertimbangkan pengajuan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka. “Akan kami bicarakan bersama klien kami, tapi yang pasti akan kita pertimbangkan itu (praperadilan),” katanya. SDA telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyelenggaraan haji 2012-2013 oleh KPK pada 22 Mei 2014. SDA diduga menyalahgunakan wewenang saat menjabat menteri agama. Dia disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pada kesempatan terpisah kemarin, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD memang melihat keputusan Sarpin membuka peluang tersangka korupsi lain untuk melakukan hal yang sama. “Untuk jangka panjang, keputusan ini bisa merusak penegakan hukum,” ujarnya. Kepala Biro Hukum KPK Chatarina M Girsang menjelaskan, putusan Hakim Sarpin ini harus dicatat sebagai sejarah kelam penegakan hukum di Indonesia. Tidak hanya soal pemberantasan korupsi. “Pasalnya, setiap tersangka akan bisa menggugat melalui praperadilan. Tidak hanya KPK tapi juga Kejaksaan dan Polri,” ujarnya. Sementara pembatalan penetapan tersangka yang dilakukan dalam sidang praperadilan, justru disambut baik pihak Polri. Menurut Kabareskrim Mabes Polri Komjen Budi Waseso, praperadilan yang diajukan Budi Gunawan itu merupakan contoh yang baik. “Sebenarnya langkah ke praperadilan itu bagus, karena Jadi, tidak melapor ke mana-mana yang tidak sesuai prosedur hukum,” paparnya saat ditemui di depan Kantor Bareskrim kemarin. Kalau kemudian ada gelom­bang praperadilan yang dituju­kan ke Bareskrim Polri, Budi mengaku bukan masalah. Praper­adilan itu jalur hukum yang harus siap dihadapi oleh para pene­gak hukum, termasuk Polri. “Bagus kalau begitu, itu namanya pembuktian secara hukum,” tuturnya. Termasuk jika pimpinan KPK mengajukan gugatan praperadilan terhadap penetapan tersangkanya. Seperti Bambang Widjojanto yang telah menjadi tersangka kasus keterangan palsu di sidang Mahkamah Konstitusi (MK). “Kami tunggu jika akan mengajukan praperadilan. Kita buktikan penetapan tersangka dan penangkapannya sah atau tidak,” ujarnya. Sedangkan mantan Hakim Agung Djoko Sarwoko mengatakan putusan hakim Sarpin sudah menyimpang. Sebab dalam KUHAP sudah jelas apa obyek perkara yang bisa diajukan dalam praperadilan. Penetapan tersangka bukan termasuk yang bisa diajukan pra­peradilan. Selain itu Djoko melihat banyak hal yang sudah masuk ke pokok perka­r­a pidana namun dibahas dalam praperadilan BG. “Jadi sudah jelas, kalau putusan keliru seperti itu secara hukum ya tidak bisa dilaksanakan,” tegasnya. Oleh karena itu, Djoko mendorong KPK mengajukan pembatalan terhadap putusan itu ke Mahkamah Agung (MA). Menurut Djoko, dengan adanya putusan keliru itu, KPK mestinya tetap bisa melanjutkan proses penyidikan terhadap BG. Djoko menyebut KPK bisa meniru kasus penetapan Bachtiar Abdul Fatah sebagai tersangka kasus proyek biore­me­diasi PT Chevron Pacific Indonesia. Saat itu Bachtiar menempuh praperadilan terhadap penetapan tersang­ka. Hakim tunggal yang menyidangkan perkara itu, Suko Harsono memutus peneta­pan tersangka Bachtiar tidak sah pada 27 September 2012. Saat itu kejaksaan tidak mengindahkan putusan pra­peradilan itu dan tetap mem­proses dan membawa Bachtiar ke pengadilan tipikor. “Kejaksaan justru melaporkan hakim ke KY (Komisi Yudisial) dan akhirnya MA membatalkan praperadilan dan memutusi hakimnya ke Maluku,” jelas Djoko. Dia mengaku saat masih menjabat sebagai Hakim Agung juga pernah membatalkan putusan praperadilan karena memang cacat hukum. Saat itu kasusnya terjadi di Sorong dan Surabaya. Artinya peluang MA membatalkan putusan praperadilan masih terbuka lebar jika KPK melaporkan perkara itu. Djoko melihat keputusan hakim Sarpin ini jelas merusak sistem hukum yang ada. Dia khawatir keputusan keliru itu nanti akan ditiru hakim-hakim lain. Jika hal itu terjadi maka proses penegakan hukum nantinya akan menghalami peng­hambatan. Sebab setiap orang akan berupaya mati-matian mengajukan pra­peradilan terhadap penetapan tersangka yang dilakukan aparat penegak hukum. Djoko juga menyarankan agar KPK lapor ke KY. Tujuan­nya agar mereka bisa merekomendasikan saksi untuk Sarpin. Djoko tertawa saat ditanya pendapatnya ter­kait putusan Sarpin yang menyebut Budi Gunawan sebagai Karobinkar bukan penegak hukum. “Dia kan polisi yang menjabat Karobinkar. Kalau polisi bukan penegak hukum, lantas sebagai apa? tanyanya. Kejanggalan lain yang dilihat Djoko ialah keputusan Sarpin yang menyebut KPK tidak berwenang menetapkan BG sebagai tersangka karena tidak terjadi kerugian negara. Padahal versi Sarpin, dalam UU KPK, lembaga itu berwenang menyidik kasus korupsi jika menimbulkan kerugian negara hingga Rp1 miliar. “Dia (Sarpin, red) sepertinya lupa bahwa dalam KUHAP ada 10-20 pasal yang mengatur gratifikasi,” jelasnya. Menurut Djoko, bisa jadi memang penerimaan gratifikasi atau suap tidak menimbulkan kerugian negara. Namun tetap saja perbuatan itu melanggar UU No 28/2009 tentang Penye­leng­gara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. (flo/adk/jpnn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: