Abpedsi Soroti Raperda Desa

Abpedsi Soroti Raperda Desa

Kecewa Tidak Dilibatkan saat Perumusan MAJALENGKA – Persatuan Rakyat Desa (Parade) Nusantara dan Asosiasi BPD Seluruh Indonesia (Abpedsi) mengeluhkan banyaknya substansi dalam Raperda tentang Desa, yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan realistis masyarakat desa. Hal itu disebabkan pada tahapan penyusunan Raperda tersebut, pihak eksekutif maupun legislatif tidak melibatkan Abpedsi maupun Parade Nusantara yang notabene stakeholder dari dibentuknya Raperda tersebut sebagai penerjemahan dari Undang-undang Desa Nomor 6 Tahun 2014. Sekretaris Abpedsi Majalengka, Deden Hamdani menyebutkan, dalam pembahasan Raperda dari tahap awal pihaknya tidak sekalipun diundang atau dilibatkan memberikan masukan dan pemikiran untuk diterapkan pada Raperda Desa ini. Padahal, kata dia, BPD (Badan Permusyawaratan Desa) sebagai representasi dari masyarakat di desa, adalah bagian terpenting dalam pelaksanaan amanat UU Desa. Dirinya menilai wajar ketika ada hal-hal substansial dalam Raperda Desa yang kurang pas dengan kondisi kekinian, dan kebutuhan riil yang sebenarnya bagi masyarakat desa. “BPD sebagai representasi dari perwakilan masyarakat di desa, memiliki wadah yang formal dan diakui legalitasnya oleh pemerintah melalui Abpedsi. Mestinya ketika proses penyusunan dan pembahasan Raperda ini BPD dilibatkan, karena yang tahu seluk beluk persoalan di desa ya BPD,” kata Deden, yang juga sekretaris Parade Nusantara. Dia mencontohkan, bebe­ra­pa hal yang ternyata kurang pas dengan kondisi kekinian, diantaranya pada proses pemilihan kepala desa (Pilkades) mengenai minimal kontestan calon Kades dua orang (tidak boleh calon tunggal), hal itu jelas tidak sesuai dengan kondisi realita di desa. Menurutnya, di sejumlah desa mencari sosok yang bersedia menjadi kades atau dicalonkan jadi kades merupakan hal yang sulit. Sehingga tak jarang setiap ajang Pilkades sebelumnya, di desa-desa tertentu sering diambil solusi Pilkades dengan calon tunggal. Tapi dengan dihapuskanya calon tunggal, maka untuk desa-desa tersebut tidak punya solusi kepastian mendapatkan seorang kepala desa definitif karena Pilkadesnya akan terus ditunda. Atau ada kemungkinan pembodohan seperti memajukan calon boneka agar Pilkades dapat tetap terselenggara. Contoh lain, kata dia, aturan mengenai penjabat Kades di Majalengka mesti PNS. Menurutnya, aturan itu sebenarnya tidak ada dalam UU Desa. Justru jika penjabat Kades mesti PNS, maka pola kerjanya tidak akan bisa mengikuti pola kerja kades definitif. Karena pola kerja kades yang sebenarnya adalah 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Misalnya, ketika di desa ada persoalan seperti ada konflik antar warga, ada warga yang meninggal dunia, ada warga yang sakit, maka Kades harus siap siaga 24 jam. Pihaknya juga menyayangkan penetapan Raperda Desa terkesan diulur-ulur dan terus molor, bahkan hingga menjelang deadline. Menurutnya, berdasarkan amanat UU Desa, anggaran untuk desa mesti sudah disalurkan selambat-lambatnya April 2015, sedangkan sekarang saja sudah hampir memasuki akhir Maret 2015. Sebelumnya, Ketua Pansus Raperda Desa Drs H Edi Anas Djunaedi MM mengaku jika dalam proses penyusunan dan pembahasan Raperda Desa, pihaknya telah menempuh berbagai tahapan. Dari mulai rapat kerja bersama eksekutif melalui instansi terkait, konsultasi ke insansi pemerintahan yang lebih tinggi, studi banding ke daerah lain, serta rapat dengar pendapat bersama stakeholder termasuk perwakilan pemerintah desa maupun BPD. (azs)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: