Pilkada Terancam Tidak Serentak
KPU Tunda Tahap di Daerah yang Belum Siap Dana JAKARTA - Ketidaksiapan sejumlah daerah untuk menganggarkan dana membuat pelaksanaan pilkada terancam tidak serentak. KPU tidak akan memaksakan untuk melaksanakan tahap pilkada apabila anggaran belum tersedia. Beberapa daerah mungkin menunda pelaksanaan pilkada sampai anggaran siap. Hingga saat ini, sebagian besar daerah memang sudah berkomitmen untuk menyediakan anggaran. Namun, sebagian lagi hingga saat ini belum menyatakan sanggup mendanai hajatan publik itu. “Kalau memang tidak cukup tersedia (dana) dan kami sulit menata pemungutan suara 2015, bisa jadi ikut gelombang berikutnya,” ujar Komisioner KPU Ida Budhiati setelah diskusi di Jakarta, kemarin (14/4). Penundaan hingga gelombang berikutnya itu merupakan opsi terburuk. Opsi lainnya, penundaan tahap beberapa hari dengan catatan ada komitmen pemerintah daerah untuk menyediakan anggaran, meski terlambat. Bagaimanapun, tahap pilkada membawa konsekuensi anggaran. Ida menjelaskan, pihaknya masih menunggu kepastian daerah yang belum menyediakan anggaran sampai dimulainya tahap pilkada 19 April mendatang. Saat itu, KPU mulai merekrut badan penyelenggara ad hoc, yakni PPK dan PPS. Kalau dana tidak tersedia, pilkada di daerah tersebut akan ditunda. Disinggung soal daerah mana saja yang belum memastikan anggaran pilkada, Ida menyatakan tidak hafal. “Contohnya, Kabupaten Inhil (Indragiri Hilir, Riau),” ujarnya. Klausul penundaan itu sudah dituangkan dalam Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pilkada. Kemarin PKPU tersebut dikirim ke Kemenkum dan HAM untuk diundangkan bersama dua PKPU lainnya. Yakni, Pemutakhiran Data Pemilih dan Tata Kerja Penyelenggara Pilkada, KPU hingga KPPS. Komisioner 44 tahun itu menerangkan, klausul tersebut juga sudah ada dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. UU itu mengatur, pilkada bisa ditunda karena beberapa hal mendesak. Yakni, bencana alam, kerusuhan, dan gangguan lain. “Kami memahami, gangguan lain itu salah satu faktornya adalah ketersediaan anggaran,” tambahnya. Sementara itu, sejumlah aktivis pemilu menyarankan hal yang lebih ekstrem. Yakni, menunda pilkada gelombang pertama dari Desember 2015 menjadi Juni 2016. “Bisa dengan melakukan revisi terbatas UU Nomor 8 Tahun 2015,” terang Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini. Yurisprudensinya ada pada UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang bisa direvisi secara terbatas dalam waktu singkat. Jika dipaksakan tahun ini, pelaksanaannya bisa kacau karena anggaran belum siap. Titi menjelaskan, pihaknya sudah menyurvei sejumlah daerah penyelenggara pilkada gelombang pertama. Hampir seluruhnya sudah berkomitmen menyediakan anggaran, meski tidak optimal. Misalnya, Provinsi Jambi yang mengajukan Rp 109 miliar, namun disetujui Rp 101 miliar. Juga, Poso, Sulteng, yang mengajukan Rp 21 miliar, namun disetujui Rp 15 miliar. “Nilai yang disetujui itu hanya untuk pembiayaan tahapan, belum termasuk biaya kampanye,” terangnya. Rata-rata daerah yang disurvei belum menganggarkan dana kampanye dengan alasan masih membahasnya. Saran senada disampaikan Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Sucipto. Dia mempertanyakan klausul awal pilkada yang didanai APBN berubah menjadi didanai APBD. Seharusnya, pembuat UU tetap pada komitmen awal bahwa pilkada didanai pusat. “Pendanaan pilkada oleh APBD sejak dulu terbukti menjadi alat tawar-menawar politik, terutama oleh incumbent yang mencalonkan diri lagi,” tuturnya. Hasil penelitian pihaknya juga menunjukkan, kapasitas fiskal daerah saat ini sangat rendah. Sangat sedikit anggaran yang bisa digeser ke pilkada. Akhirnya, sejumlah daerah terpaksa mengorbankan sebagian dana publik seperti pendidikan dan kesehatan untuk melaksanakan pilkada. “Tidak mungkin pemda mengurangi anggaran gaji pegawai,” tambahnya. (byu/JPNN/c5/diq)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: