Calon Sah Beri Imbalan ke Pemilih
Tak Lebih dari Rp50 Ribu, dalam Bentuk Apa pun JAKARTA - Upaya meminimalkan politik uang ternyata diatasi dengan melegalkan praktik yang jamak berlangsung di setiap pemilihan kepala daerah (pilkada). Hasil rapat konsultasi Komisi II DPR bersama dengan Komisi Pemilihan Umum menyepakati pemberian imbalan apa pun kepada pemilih oleh pasangan calon sah asalkan nilainya tidak melebihi Rp 50.000. Ketua Komisi II DPR RI Rambe Kamarul Zaman menjelaskan, rapat konsultasi secara maraton untuk membahas peraturan KPU telah menyepakati tata cara teknis terkait dengan kampanye. Salah satunya, dilegalkannya pemberian imbalan seperti tersebut di atas. “Calon boleh memberikan apa pun kepada pemilih asalkan tidak lebih dari Rp50 ribu,” kata Rambe di sela-sela sidang paripurna DPR, kemarin (21/4). Menurut Rambe, peraturan itu sudah disepakati bersama dengan tata cara kampanye lainnya. Dia menyatakan, dengan pola semacam itu, panitia pengawas pemilu (panwaslu) dituntut kejeliannya untuk mengawasi mekanisme dan jenis barang yang diberikan oleh calon kepada pemilih. Rambe menegaskan bahwa jenis imbalan yang diberikan diserahkan sepenuhnya kepada calon. “Pemberiannya dalam bentuk apa pun,” ujarnya. Aturan teknis lain yang disepakati terkait dengan kampanye adalah alat peraga. Sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, pengadaan dan pemasangan alat peraga terkait dengan pasangan calon menjadi tanggungan KPU melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) setempat. Komisi II juga mengharapkan KPU daerah bisa menyeragamkan alat peraga pasangan calon. Dengan begitu, semua peserta memiliki hak dan kesempatan yang sama. “Antisipasinya adalah jika ada incumbent ikut kembali, anggaran alat peraga ini bisa membengkak. Karena itu, kami minta alat peraga ini jangan terlalu besar,” ujarnya. Rambe menyatakan, Komisi II DPR juga meminta pembatasan mekanisme kampanye dengan rapat umum, atau menghadirkan massa dalam jumlah besar. Pengalaman membuktikan bahwa jumlah massa dalam kampanye tidak sebanding dengan partisipasi pemilih. “Kita minta lebih diutamakan kampanye terbatas, di ruang tertutup, bicara terkait pendidikan politik,” ujar politikus Partai Golongan Karya itu. Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria menambahkan, besaran dana kampanye pilkada sesuai dengan UU Pilkada dibatasi. Karena itu, semua mekanisme kampanye harus dilakukan secara efektif. Meski larangan kampanye dengan rapat umum hanya sebatas imbauan, peraturan KPU tetap membatasi jumlah kehadiran simpatisan dan pemilih. “Untuk pilkada gubernur dua ribu (orang) dan seribu untuk kabupaten/kota,” ujarnya. Untuk besaran biaya kampanye, kata Riza, nanti ditentukan KPU. Menurut dia, besaran biaya kampanye tidak bisa disamaratakan satu daerah dengan yang lain. “Formula besaran biaya kampanye bisa per TPS (tempat pemungutan suara), jumlah kecamatan, dan pemilih. Ada satuan dan volume yang diatur,” tuturnya. Sementara itu, Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto menuturkan, KPU harus lebih hati-hati dalam menerapkan aturan kampanye. Sebab, para calon kada (kepala daerah) tentu masih bisa mengakali aturan yang telah dibuat. Dalam hal nilai suvenir Rp50 ribu dari calon kada, misalnya, tidak dibatasi jumlah dan jenis barangnya. Otomatis, calon kada bisa membuat barang tersebut dalam kuantitas yang besar. Panwaslu pun akan kesulitan mengawasi karena sudah disahkan dalam aturan. Belum lagi, kemungkinan laporan keuangan palsu. “Misalnya, hadiah cincin akik Rp65 ribu dilaporkan Rp50 ribu,” ujarnya. Yang paling parah, dikhawatirkan frasa “apa pun” itu diartikan calon kada boleh memberikan uang asalkan tidak lebih dari Rp50 ribu. Dampak lainnya, pengawas pemilu akan bekerja lebih keras untuk bisa mengidentifikasi pelanggaran kampanye model tersebut. Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini. Menurut dia, poin utama pada aturan tersebut adalah ketegasan agar calon kada tidak sampai menafsirkan macam-macam (bay/byu/c4/fat)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: