Pukat Harimau Bikin Resah Nelayan
Sering Jadi Penyebab Konflik di Laut INDRAMAYU– Jaring arad atau yang dikenal juga dengan pukat harimau benar-benar membuat resah nelayan di kawasan pantura Indramayu. Penggunaan jaring arad saat melaut kerap membuat nelayan terlibat konflik di laut. “Sebagian nelayan di Indramayu memang masih ada yang menggunakan jaring arad, meski jumlahnya sedikit,” ujar Ketua Serikat Nelayan Tradisional (SNT), Kajidin, kepada Radar, Jumat (24/4). Dikatakan Kajidin, nelayan yang masih menggunakan jaring arad tersebut kebanyakan berada di Desa Singaraja Kecamatan Indramayu dan Desa Eretan Kecamatan Kandanghaur. Mereka merupakan nelayan kecil yang mencari ikan di pinggir laut. “Sebagian besar nelayan di Kabupaten Indramayu sebenarnya sangat menolak penggunaan jaring arad atau yang dikenal juga dengan istilah pukat harimau. Selain penggunaan jarring itu merusak ekosistem laut, jaring tersebut juga merusak alat tangkap milik nelayan lain yang ada di sekitarnya dan itulah yang menjadi penyebab konflik,” tuturnya. Kajidin mengatakan, tidak adanya tindakan tegas dari instansi dan aparat terkait akhirnya membuat nelayan non-arad mengambil tindakan sendiri. Kondisi itupun akhirnya menyebabkan konflik berkepanjangan antara nelayan non-arad dan nelayan arad. Padahal ia mengaku sudah sering mengadukan permasalahan tersebut dan tidak pernah ada respons. Konflik antara kedua kelompok nelayan tersebut, ungkap Kajidin, sudah marak terjadi selama rentang waktu 1990-an dan mencapai puncaknya pada 2000 di berbagai daerah. Di Kabupaten Indramayu, nelayan non-arad merampas dan membakar jaring arad yang mereka temui di laut. Mendapat perlakuan seperti itu, nelayan arad pun melakukan perlawanan. Akhirnya, terjadi perang di laut antara nelayan arad dan non-arad. Hal itu di antaranya pernah terjadi di Desa Brondong dan Desa Singaraja Kecamatan Indramayu dan Desa Eretan Kecamatan Kandanghaur. Bahkan, adapula nelayan non-arad asal Gebang, Kabupaten Cirebon, yang dikeroyok di laut hingga tewas oleh nelayan arad di perairan Jakarta. Hal itu dilakukan sebagai bentuk pembalasan dendam nelayan arad karena nelayan-nelayan non-arad yang kerap merampas dan membakar jaring arad. Kajidin menuturkan, saat ini konflik antara kelompok nelayan non-arad dan kelompok nelayan arad memang sudah menurun drastis. Selain karena penggunaan jaring arad sudah berkurang, hal itupun dilatarbelakangi rasa lelah di kalangan nelayan terhadap konflik berkepanjangan. Sementara itu, Ketua DPD Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jabar, Ono Surono ST mengatakan, selama ini pemerintah tidak pernah fokus untuk mengatasi masalah alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Menurutnya, nelayan yang kecil dan miskin pasti berorientasi untuk menangkap ikan dengan biaya murah dan dapat hasil yang banyak. Pemerintah perlu member sosialisasi kepada mereka, bahwa menangkap ikan juga perlu memperhatikan keberlanjutan ekosistem. “Kalau ekosistem rusak, tangkapan ikan akan terus menurun dan itu kan merugikan mereka sendiri,” tandasnya. (oet)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: